Monday, September 7, 2015

Antropologi Visual dan Antropologi Seni


oleh: Hairus Salim HS

ANTROPOLOGI visual telah lama diakui sebagai sub-disiplin antropologi
sosial-budaya. Di Amerika, konon, antropologi visual telah memiliki
seksinya di dalam Asosiasi Antropologi Amerika (*/American
Anthropological Association/ http://www.aaanet.org/ ), mempunyai
dua jurnal yang mapan, dan sesi-sesi pertemuan dan simposium yang rutin.
Minat mahasiswa mengkaji antropologi visual pun diakui sangat meningkat.
Namun seperti cabang antropologi lainnya, wilayah disiplin ini diakui
terlalu sangat luas dan enggan memberi ruang pada studi manusia di luar
orbitnya.
http://anthropology.si.edu/summerinstitute/

Secara umum ada dua fokus antropologi visual: di satu sisi ia konsen
pada penggunaan bahan-bahan visual di dalam penelitian antropologi. Di
sisi lain, ia dipahami sebagai kajian terhadap sistem-sistem visual dan
budaya visibel. Namun pada praktiknya, sejauh ini apa yang disebut
sebagai antropologi visual itu terbatas dan lebih banyak pada yang

pertama, yaitu sebagai suatu bentuk representasi seorang (atau lebih)
antropolog terhadap suatu komunitas dengan menggunakan perangkat
(teknologi) visual —terutama foto dan film— untuk kepentingan eksplorasi
(/exploration/) maupun sebagai perekaman data (/recording data/).
Sementara yang kedua, bagaimana antropologi visual menjadi suatu studi
terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas, masih banyak
terabaikan.*^1 <#footnote-1>*

Tentu saja ada perdebatan yang panjang mengenai status “data” yang
diperoleh dari penggunaan bahan-bahan visual tersebut. Ini terutama
berkait dengan paradigma teoritis yang menyertai praktik pengumpulan
data tersebut.*^2 <#footnote-2>* Dalam banyak hal, praktik pengumpulan
data via visual yang berujung pada ‘objektivikasi’ penelitian ini sering
jatuh pada penelitian ‘tentang’ (/on/) masyarakat, dan bukan ‘bersama’
(/with/) masyarakat.*^3 <#footnote-3>* Namun apapun perdebatan itu,
praktik yang pertama inilah yang dominan dalam perkembangan antropologi
visual.

Sementara itu, mungkin sebagai konsekuensi dari hal yang pertama itu
pula, antropologi visual sangat didominasi oleh foto dan film. Sejak
*Margaret Mead * dan
*Gregory Bateson *
melakukan penelitian tentang Bali pada tahun 1930-an, fotografi hampir
selalu menjadi mitra penting antropolog dalam melakukan penelitian.
Selain untuk kepentingan eksplorasi, analisis data lebih lanjut, foto
juga menjadi bukti ‘kehadiran’ sang antropolog dalam
‘observasi-partisipatori’ (/being there/). Kadang, foto di sana hadir
dengan kepentingan yang simpel saja, yakni sebagai ilustrasi. Karena
itulah, menurut Ira Jackins (/via/ Marcus Banks & Howard Morphy, hlm.
4), pada dasarnya setiap antropolog mengerjakan antropologi visual
(namun) tanpa mengakui atau menyadarinya.

Selain foto, film juga mendominasi bidang antropologi visual melalui apa
yang disebut sebagai film etnografi.*^4 <#footnote-4>* Menurut Marcus
Banks & Howard Morphy, ada alasan-alasan praktis-pragmatis mengapa film
begitu mendominasi sub-disiplin ini. Pertama, menyusul pengabaian yang
panjang dan luar biasa terhadap media perekaman visual sebagai perangkat
metodologis, pemakaian film dalam penelitian antropologi lalu sedemikian
ditekankan. Kedua, film mampu menyedot audiens yang luas yang mungkin
bisa melampaui peminat antropologi sendiri. Ketiga, perangkat teknologi
film yang sudah praktis dan murah. Terakhir, film adalah media yang
‘seksi’, yang sangat dekat dengan dunia /glamour/ sinema dan televisi.
Mungkin karena itulah, pendekatan etnografi film ini dicurigai banyak
menggiring mahasiswa memproduksi film untuk kepentingan sendiri.
Singkatnya, tanpa sumbangan teoritis terhadap sub-disiplin ini, dominasi
film di bidang ini hanya dicurigai sebagai batu loncatan untuk masuk ke
dunia media (film).

Namun, jelas antropologi visual bukan hanya film dan fotografi. Ia juga
menyangkut studi terhadap seni dan budaya materi (/material
culture/),*^5 <#footnote-5>* investigasi gestur, ekspresi muka, dan
aspek-aspek tingkah laku dan interaksi yang spasial. Dalam hal
meningkatnya akhir-akhir ini apa yang disebut sebagai ‘indigenous
media’, antropologi visual menjadi sangat penting, terutama dalam
perspektif yang kedua: suatu studi terhadap dunia dan sistem visual
suatu komunitas.

Studi terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas, pada tahapan
berikutnya erat dengan studi ‘materi budaya’, yakni studi terhadap
produk materi anggota suatu budaya. Di sini dipelajari ‘cara memandang’
(/ways of seeing/) di dalam maupun antar masyarakat, dan bagaimana
pengaruhnya dalam tindakan dan konseptualisasi terhadap dunia.

Kadang –dan sering– perhatian diberikan pada transformasi budaya materi
ini dari suatu konteks ke konteks lain. Budaya materi suatu komunitas
ketika dipindahkan dari konteks produksinya bisa menjadi suatu objek
seni barat, dengan nilainya yang sangat berbeda dari konteks budaya
aslinya. Misalnya, /Rumah Seni Cemeti/
(RSC) pernah memamerkan kain-kain /Biboki/ dari Nusa Tenggara Timur. Di
tempat asalnya, kain /Biboki/ jelas mempunyai nilai sosial dan
spiritualnya, namun di RSC ia menjadi objek seni; bahwa sesuatu yang
bukan objek seni, berubah menjadi seni karena pengkerangkaannya di ruang
pameran. Ditonton, dinikmati, dan diapresiasi.

Sementara, dalan kaitan produk seni ini, interaksi dunia yang makin
intensif sekarang ini, jelas memantulkan pengaruhnya yang kuat. Mungkin
dalam hal produk seni, hampir semua seniman sekarang berwatak
posmodernis. Artinya, karya-karya mereka –baik menyangkut ide, bentuk,
dan bahan– mengundang diskusi tentang orisinilitas, identitas, dan
hibriditas. Dalam hal inilah, antropologi visual penting juga memasukkan
antropologi seni, budaya materi, dan bentuk-bentuk ritual sebagai
‘mitra’-nya.

Dalam tulisannya, “Collectivity and Nationality in the Anthropology of
Art” (dalam Marcus Banks & Howard Morphy), Nicholas Thomas menegaskan
bahwa antropologi visual harus memasukkan antropologi seni. Tetapi
sebelumnya, menurut dia, antropologi seni itu mesti direformulasikan
kembali. Nicholas berpendapat bahwa antropologi seni yang ada dan
diajarkan selama ini secara khusus (atau terbatas) hanya mengkaji “seni
non-Barat”.*^6 <#footnote-6>* Dengan itu, seni kontemporer, yang hakikat
maupun bentuknya bersifat barat sedikit banyak terabaikan, terutama
dalam hal ini apa yang dimaksud sebagai “visual art.” Ini, menurutnya,
karena memang antropologi seni dirumuskan awalnya secara langsung dari
studi ‘seni masyarakat primitif’ (/study of primitive of art/).

Bagi Nicholas, antropologi seni seperti ini sudah tidak cocok lagi.
Pertama, tentu karena sifatnya lalu sangat terbatas. Kedua, pada
praktiknya media-media baru di dalam seni sering berkait dengan
ikonografi tradisional. Wilayah seni seperti ‘seni visual’ atau
‘performance art’ itu sering menjadi lahan transformasi dan eksplorasi
baru para seniman tradisi. Ketiga, sebagai konsekuensinya, seni sekarang
ini selalu bersifat hibrid, hasil dari interaksi dan dialog global.
Tentu tidak bisa lagi ditarik garis hitam putih ini seni barat dan ini
seni (tradisi) timur.*^7 <#footnote-7>*

Refleksi, atau “unek-unek” ini mungkin berlebihan. Toh, pada praktiknya,
studi terhadap budaya visual di jurusan antropologi (seperti tentang
komik, pakaian [jilbab, kaos oblong], tato dll.) terus berlangsung. Dan
bukankah juga sekarang telah berkembang apa yang disebut sebagai “studi
budaya visual”, yang bahkan hendak dikembangkan sebagai “disiplin”
tersendiri. Wataknya sangat eklektik, inter dan multi-disipliner,
termasuk di dalamnya antropologi. Di sini “visual culture” dipahami
sebagai “artefak-artefak material”, bangunan dan citra, media dan
pertunjukan yang berbasis waktu (/plus time-bases/), yang diproduksi
untuk tujuan estetika, simbolik, ritual, politik ideologis, atau pun
tujuan-tujuan praktis lainnya, yang signifikansinya dialamatkan pada
penglihatan atau perupaan.”*^8 <#footnote-8>* *[ ]*

19 Maret 2012

* *Eksekutif Direktur Yayasan LKiS —Yogyakarta*


------------------------------------------------------------------------

*Catatan*:

[1] Wawasan ini terutama saya ambil dari Marcus Banks & Howard Morphy,
“Introduction: rethinking visual anthropology”, dalam */Rethinking
Visual Anthropology/*
, Marcus Banks &
Howard Morphy (/ed/.), Yale University Press, 1999.

[2] Dalam paradigma evolusi, foto dan film dengan pahit hanya menjadi
pelanjut untuk menghadirkan yang visibel dan riil dari ‘tubuh’ manusia
dunia ketiga, yang sebelumnya hadir secara fisik di dalam
pameran-pameran, sirkus-sirkus, dan hiburan lainnya, kini lebih praktis
dan murah, dalam bentuk foto dan film, demikian David MacDougall.
Foto-foto realis, yang indah dan eksotik, kemudian juga hadir dalam
brosur-brosur wisata dan kartu pos.

[3] Sarah Pink, */Doing Visual Ethnography/
*,
Sage Publications, 2001, hlm. 23. Perdebatan paradigma teoritis yang
membentang dari evolusionisme hingga reaslime naïf dalam etnofotografi
ini terdapat dalam bagian-bagian awal buku ini.

[4] Mengenai contoh-contoh etnografi film ini, lihatlah Karl G. Heider,
*/Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film/
*,
Allyn and Bacon, 1996, yang menghimpun sejumlah topik film etnografi
disertai CD-nya. Yang menarik, seluruh film etnografi ini memiliki
dukungan etnografi tertulisnya. [Tambahan redaksional Ahmad Nashih
Luthfi] Di sini yang visual menjadi pendukung yang tertulis, ataukah
sebaliknya, yang tertulis mendukung yang visual? Dalam contoh Indonesia
baru-baru ini, terdapat buku/CD-film oleh Yunita T. Winarno (ed.), /Bisa
Déwék, Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu
,
/(Jakarta: Gramata Publishing, 2011)

[5] Terjemahan istilah ini dalam bahasa Indonesia jelas problematis,
karena bisa disalah-mengertikan semacam budaya konsumsi, materialis dll.

[6] Tentu saja, ini turunan langsung dari watak ilmu antropologi sendiri
yang sebelumnya dan sejauh ini dianggap sebagai “ilmu yang mempelajari
masyarakat timur” dan karena itu sering dipertautkan dengan
(kepentingan) “kolonialisme” saat itu.

[7] Nicholas mengkaji bagaimana seni yang bekerja dalam konteks yang
luas bisa dipahami untuk mencitrakan kolektivitas–kesatuan sosial,
nasionalitas dan etnisitas. Ia mengkaji praktik ritual Melanesia dan
karya-karya lukis kontemporer para seniman imigran kulit putih maupun
Polinesia (Maori), di Selandia Baru.

Pengalaman saya di /*Majalah Gong */ juga
mengalami pengkerangkaan serupa. Semula majalah kami tidak memberikan
tempat untuk “seni visual”, dengan alasan itu bukan seni pertunjukan dan
sekaligus bukan seni tradisi. Baru belakangan inilah, sedikit-sedikit
/Gong /melaporkan kegiatan seni visual, terutama yang intim dengan
gagasan tradisi atau dalam prosesnya terbentuk dari interaksi global itu.

[8] Lihat: John A. Walker & Sarah Chaplin, */Visual Culture: An
Introduction/* ,
Manchester University Press, 1997.







No comments:

Post a Comment