Oleh Asmudjo J. Irianto
BERNETT Newman, salah satu seniman papan atas Amerika, pernah berujar manusia yang pertama menjadi seniman adalah pada saat dia menorehkan sebuah garis di atas permukaan tanah menggunakan sebilah kayu. Torehan garis tersebut bisa dianggap sebagai gambar pertama. Gambar tampaknya selalu menyertai perjalanan peradaban dan kebudayaan manusia. Karena itu, tak mengherankan jika gambar menjadi wilayah sangat penting dan tak dapat dipisahkan dari dunia seni dan seniman. Sebetulnya “menggambar”, seperti corat-coret, membuat sketsa, membuat bagan dan sebagainya merupakan salah satu cara seniman (dan para perancang) dalam menvisualisasikan gagasan yang ada dalam kepalanya. Karena itu menggambar sesungguhnya juga merupakan upaya pengkongkretan imajinasi, gagasan seniman. Tentu saja setiap bentuk karya seni sesugguhnya merupakan bentuk pengkongkretan gagasan sang seniman, namun gambar menduduki posisi istimewa sebab dalam prosesnya merupakan visualisasi konkret yang paling awal, spontan dan langsung. Hal itu diutarakan dengan gamblang oleh G. Sidharta Soegijo: “Salah satu cara yang paling langsung untuk menghubungkan proses berpikir, yang berlangsung secara abstrak, dengan bentuk visual, yang konkret, adalah melalui gambar.”
Dalam nada yang sama, Kate Macfarlane dan Katharina Stout berujar: “It is to drawing that many artists turn when they are not sure how to proceed with a particular line of enquiry, or how to realise an ambitious proposal. As Avis Newman suggests, drawing offers the most direct access to the intimate workings of the artist's mind: 'I have always understood drawing to be, in essence, the materialisation of a continually mutable process, the movements, rhythms, and partially comprehended ruminations of the mind: the operations of thought. For this reason alone, drawing will always be at the heart of the visual arts'.”
Gambar menjadi bagian penting dalam perjalanan seni rupa Barat sejak masa Renesans sampai pada masa modern. Akademi seni di Eropa sejak abad 16 sampai abad 19 menekankan pentingnya gambar sebagai tulang punggung seni lukis dan seni patung. Apa yang dikenal sebagai akademisme, tak lain adalah formulasi dan pendekatan seni rupa yang menekankan pentingnya kemampuan menggambar bagi seorang seniman. Hal itu bisa kita lihat dari peninggalan gambar-gambar para pelukis-pelukis terkenal Eropa sejak masa Renesans sampai era seni rupa modern. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa gambar—atau lebih tepat seni gambar—menjadi kategori seni yang otonom baru beberapa tahun belakangan ini.
Agaknya, fungsi gambar sebagai preparatory—kerja persiapan untuk menghasilkan lukisan—menjadikan gambar tenggelam di bawah medium atau kategori seni yang disokongnya, yaitu seni lukis, seni patung dan seni grafis. Menjadi perangkat preparatory menjadikan gambar dibutuhkan, namun sekaligus diletakkan bukan sebagai tujuan akhir. Kendati gambar, atau kemampuan menggambar merupakan hal penting dalam seni lukis dan seni patung, namun hal itu lebih bertautan dengan proses penyiapan dalam eksekusi lukisan. Tentu saja yang dianggap lebih penting adalah hasil akhir atau tujuan akhir, yaitu lukisan atau patung. Tujuan akhir merupakan supremasi, dan dalam tradisi fine art apa yang menjadi akhir adalah yang utama, seperti dijelaskan oleh Mortimer J. Adler: “These are the arts that later came to be called the fine arts, when the word ‘fine’ is understood to mean ‘finis’ and to signify that the works produced by these arts were things to be enjoyed for their own sake, not to be used as means to further ends.”
Sejak masa Renesans ketrampilan menggambar menjadi bagian penting dalam melukis. Sejak masa Renesans pula seni lukis menjadi kategori seni tinggi (high art) yang otonom. Maka tak mengherankan di era seni rupa modern, lukisan merupakan kategori seni yang paling penting. Ironisnya supremasi seni lukis dicapai melalui dukugan yang tak lekang dari gambar. Agaknya, karena terlalu lama menservis seni lukis dan patung menyebabkan status atau kedudukan gambar menjadi problematik, sebagaimana diutarakan oleh Emma Dexter, “Yet the medium’s status has always been problematic, due to its servitude to the arts of painting and sculpture, as well as its association with preparation and incompletion.”
Pelukis kenamaan Perancis Ingres pernah berujar mengenai pentingnya gambar untuk painting, “If I were to put a sign above my door, it would read School of Drawing, and I’m certain that I would produce painters.” Hal itu tampaknya berlaku secara universal. Bukankah hal itu pula yang telah dibuktikan oleh Balai Universitas Pendidikan Guru Gambar (dibuka tahun 1947) yang menjadi cikal bakal seni rupa ITB?
Untuk menjadi kategori seni yang otonom ternyata gambar masih membutuhkan perjalanan panjang. Seni rupa modern yang lebih mementingkan konsep, semakin menempatkan gambar—sebagai proses preparatory—semakin tidak penting. Dari masa Renesans sampai akhir abad 19 virtuositas menggambar sepertinya menjadi keharusan bagi seniman agar dapat menghasilkan karya lukis dan patung yang berkualitas. Sebaliknya seniman modern justru mencurigai hal-hal yang berkait dengan aspek ketrampilan, termasuk ketrampilan menggambar. Deanna Petherbridge, seorang prefesor dalam bidang gambar menjelaskan situasi diametrikal antara masa klasik dengan kepercayaan pada pendekatan akademik melawan masa modern yang mendestruksi pendekatan akademik, “The practice of art in this century has been no less closely tied to education than it has in other times. Eighteenth-century neoclassicism, for example, is as closely allied with the spread of the academies. As modernism has been with the destruction of the academic system. The academy, as we all know, was posited on the teaching of life gambar, in fact learning art in the West since Renaissance has been entirely to do with question of disegno—as both drawing and composisitional design.”
Maka tak mengherankan jika bagi para seniman modernis, gambar, khususnya dalam pendekatan akademis menjadi wilayah yang tidak penting. Tentu saja seniman modern tetap membutuhkan visualisasi bagi gagasan dan pemikirannya, namun hal tersebut tak harus diterapkan melalui ketrampilan gambar yang canggih. Gambar atau sketsa yang dihasilkan oleh para seniman modern, konseptual dan avant garde tidak menunjukkan virtuositas gambar seperti para seniman di abad-abad sebelumnya. Formalisme dan pencarian esensi seni lukis telah menggeser pentingnya gambar sebagai proses preparatory untuk melukis. Karena itu segi ketrampilan menggambar ala akademisme (kemampuan gambar anatomis) makin hilang dan tidak penting di masa-masa seni rupa modern dan era neo avant-garde, yaitu masa-masa transisi dari seni rupa modern menuju seni rupa kontemporer.
Demikian pula, di masa-masa tersebut akademi seni rupa di Barat memandang pembekalan ketrampilan, termasuk gambar semakin tidak relevan, dan mengurangi secara drastis mata kuliah menggambar. Hal yang dikenal dengan sebutan de-skilling ini berkaitan (catatan dari subject of art) dengan arahan dan prioritas utama pada segi konsep. Proses menuju de-skilling ini agaknya sesuai dengan paradigma seni rupa modern, dan dalam beberapa hal kemudian juga ditunjukkan oleh seni rupa kontemporer—khususnya dalam karya-karya yang bersifat transgresif. Kendati kemudian juga terbukti bahwa seni rupa kontemporer menunjukkan pula karakter yang berlawanan dengan kecenderungan de-skilling, yaitu munculnya kembali (revival) kebutuhan terhadap skill atau ketrampilan.
Gambar Sebagai Wilayah Otonom dalam Seni Rupa Kontemporer
Setelah di akhir tahun 60-an sampai tahun 80-an gambar dianggap kurang penting dalam ruang lingkup pendidikan seni rupa, maka tahun 90-an ditandai dengan kegelisahan karena makin berkurangnya kemampuan menggambar para mahasiswa seni rupa. Ada upaya-upaya untuk “back to basic”, yaitu mengembalikan gambar sebagai variabel penting dalam seni rupa—termasuk dalam pendidikan tinggi seni rupa. Hal itu misalnya ditunjukkan oleh sebuah konferensi yang diadakan oleh Tate Gallery tahun 1993-1994 mengenai The role of drawing in Fine Art Education. Hal itu kemudian ditandai pula oleh dibukanya program studi gambar di beberapa perguruan tinggi seni rupa di Barat.
Di masa sebelumnya, kita tahu bahwa seni lukis modern yang puncaknya ditunjukkan oleh abstrak ekspresionisme mengalami kebuntuan. Perkembangan lebih lanjut yang ditunjukkan oleh Pop Art, Conceptual Art dan Minimal Art merupakan masa transisi dari seni rupa modern menunju seni rupa kontemporer. Penentangan pada konteks spiritual kesenimanan dan sublimasi seni lukis menyebabkan seni lukis pada awal tahun 70-an mendapatkan stigma, dan untuk beberapa saat mengalami titik nadir. Performance, happening, eart art, dan bentuk-bentuk seni patung dalam sense sculpture in extended field menjadi utama. Hal itu kemudian disusul oleh new media art. Namun secara perlahan tapi pasti seni lukis kembali menunjukkan kebangkitannya. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer bangkit dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium representasional—bukan sebagai entitas esensial dan sublim seni rupa.
Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi pemikiran (teori), konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah globalnya. Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan penentu di balik praktek produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai contoh, tak bisa disangkal bahwa kebangkitan seni lukis tidak lepas dari maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya art-fair di pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.
Yang menarik, bangkitnya gambar atau lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini ditengarai tidak lepas dari come-backnya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa kontemporer dengan kepercayaan pada pluralisme dan “apapun boleh” (anything goes) tidak memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis. Agaknya, melihat hal itu, para seniman yang tertarik dengan gambar sebagai kemungkinan medium seni rupa kontemporer mulai menampilkan dirinya. Karena itu Emma Dexter, editor Vitamin D (buku kompilasi seniman gambar yang paling komprehensif saat ini) berpendapat bahwa popularitas seni gambar sedikit banyak disebabkan oleh kembali populernya seni lukis: “In painting’s slipstream followed the shy sibling, gambar, arriving without any apologies or explanation. Gambar had never been widely theorized in its own right, allowing the field to be open for the artists to make of it what they choice.”
Selain itu, popularitas seni gambar ditengarai dodorong oleh arus balik pada hal-hal yang lebih moderat dan sederhana, setelah praktek seni rupa tahun 70an sampai 90-an disibukkan oleh aspek monumental seni. Hal itu diutarakan oleh Emma Dexter: “But when drawing first started to emerge autonomously in the mid-1990s, it was also the perfect medium to contrast with the sort of art that preceded it. Circa 1990, contemporary exhibition were dominated by a form of monumentalism, one that ironically trumpeted its decosntruction of the monument yet aped the monument’s hunger for the space, power and theatricality.”
Seni Gambar Kontemporer Indonesia
Dalam konteks seni rupa modern Indonesia gambar atau istilah gambar menduduki posisi penting. Sebelum istilah seni atau seni lukis dipergunakan dan populer, maka “gambar” merupakan istilah yang kerap dipergunakan untuk menunjuk beragam seni rupa 2 dimensi. Tentu kita masih ingat keberadaan Persagi, singkatan dari persatuan ahli-ahli gambar Indonesia, kendati yang terutama dipraktekkan adalah seni lukis. Istilah gambar dapat merujuk pada seni lukis karena seni lukis selalu menggambarkan seseorang atau sesuatu, lukisan adalah gambar atau gambaran tentang sesuatu. Hal itu juga menunjukkan bahwa istilah gambar, khususnya dalam konteks budaya Indonesia masa lalu memiliki pengertian yang lebih luas dari pengertian drawing. Sanento Yuliman almarhum dengan cakap menjelaskan hal tersebut: “Yang pertama-tama perlu diingat dalam membicarakan gambar ialah bahwa kata “gambar” mempunyai lingkup pengertian yang luas. Yang tampak di layar televisi ketika pesawat dihidupkan, yang kelihatan di layar bioskop ketika film main, demikian juga foto di harian dan majalah, lukisan, peta, denah, grafik, dan sebagainya, itu semua dalam bahasa Indonesia disebut “gambar”.
Saat ini pengertian istilah gambar tampaknya menyempit, khususnya dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia, mendekati pada pengertian drawing dalam bahasa Inggris. Namun demikian apa yang diutarakan Sanento Yuliman menunjukkan bahwa potensi seni rupa—apapun mediumnya—sebagai wilayah penggambaran (representasi) sesuatu hal atau persoalan merupakan hal yang mudah diterima sejak lama. Karena itu, tak mengherankan jika gambar sebagai wilayah atau kategori seni yang otonom mudah diterima oleh masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh penerimaan yang cukup terbuka pada karya-karya seni gambar. Terbukti, saat ini beberapa seniman muda menjadi populer semata-mata menggunakan teknik/medium gambar dalam berkarya.
Pameran ini menandai apa yang dijelaskan oleh Laura Hoptman, “it also mark a moment when drawing has become a primary mode of expression for the most inventive and influential, artist of the time." Terbukti, wajah seni rupa kontemporer Indonesia ditandai oleh karya-karya yang dikerjakan dengan teknik gambar dan masuk dalam kategori gambar, atau dalam hal ini lebih tepat disebut seni gambar. Barangkali istilah seni gambar terlalu berlebihan, sebab dalam bahasa Inggris cukup disebut drawing, bukan drawing-art. Namun, penyebutan seni gambar memang sebuah penekanan, seperti juga istilah seni lukis dan seni patung yang merupakan padanan istilah painting dan sculpture. Dengan demikian, jelas bahwa pameran ini berkenaan dengan gambar sebagai karya seni, khususnya dalam konteks seni rupa kontemporer.
Namun demikian, saat ini, tak mudah menetapkan secara tegas batasan seni gambar. Dalam beberapa hal seni gambar bergerak masuk dalam batasan seni lukis. Hal itu contohnya ditunjukkan oleh beberapa seni kontemporer kelas dunia yang karyanya dianggap sebagai drawing, namun juga diketegorikan sebagai painting. Menurut Emma Dexter karya-karya Marlene Dumas dan Elizabeth Payton menunjukkan kualitas “antara” (drawing dan painting): “In the case of Dumas, gambar has always featured heavily in her exhibitions, the juxtaposition between the more final and ‘developed’ form of painting and the immediacy of gambar being an essential element in the presentation of her work. In other cases, artists such as Elizabeth Peyton and Katharina Wulff have blurred the distictions between drawing and painting, transferring some of the fragility and immediacy of drawing into their painting. Using thin paint or combining media to leave the white ground uncovered, thus gaining an increased sense of immediacy and responsiveness from a medium often associated with closure and ponderausness".
Penjelasan serupa ditunjukkan oleh Deanna Petherbridge, yang merujuk karya David Salle dan Anish Kapoor: “Salle’s triptych ‘walking the dog’ of 1982 is in oil and acrylic on cotton, although it is andoubtedly drawn in line, and Kapoor’s gouaches and moulded paper pieces from his Tate exhibition of 1989 are designated ‘gambar’ althought they have nothing to do with line.”
Dengan ketiadaan spesifikasi medium, maka cukup sulit untuk menetapkan definisi gambar yang pasti. Kita sepertinya “mengerti” apa itu gambar, namun benarkah demikian? Karena apa yang kita sebut gambar bisa cukup beragam dan berbeda karakternya. Di sisi lain cairnya batasan gambar justru merupakan sebuah berkah, karena akan melebarkan kemungkinan-kemungkinan seni gambar, pun tak masalah jika tumpang tindih dengan wilayah atau medium lain. Bukankah atmosfir seni rupa kontemporer ditandai oleh ketidaksukaan pada batasan yang pasti dan definitif?
Sebelumnya disebut bahwa di masa lalu gambar belum sampai pada kondisi otonom. Namun jika sekarang gambar menjadi medium yang “otonom” tentunya tidak dalam sense beranalogi dengan otonomi seni yang kaku. Karena seni sebagai wilayah otonom dianggap sebagai konstruksi yang diangan-angankan oleh seni rupa modern—yang terbukti tidak tercapai. Yang dimaksud gambar sebagai seni yang otonom adalah keberadaan gambar sebagai tujuan akhir ekpresi seni—bukan sebagai preparatori atau sketsa. Karena itu karakter bahwa seni gambar menjadi medium akhir (selesai sebagai karya seni) tidak diikuti oleh ketentuan formulatif atau absolut mengenai “kebenaran” seni gambar. Seni gambar mengikuti kaidah seni rupa kontemporer yang pluralis: segala macam kemungkinan seni gambar berhak hidup. Karena itu, menurut para pengamat, seni gambar mengalami kemajuan yang sangat pesat, sehingga batas-batasnya pun meluas, yang dalam istilah Emma Dexter disebut drawing within an expanded field —mengingatkan kita pada istilah sculpture in the expanded field.
Harus diakui Pameran Seni Gambar Kontemporer bukanlah upaya menyuruk untuk memeriksa sejauh mana seniman menterjemahkan atau mencari kemungkinan seni gambar. Arah yang diambil dalam pameran ini lebih sederhana, yaitu menunjukkan bahwa gambar dapat menjadi media yang otonom untuk ekpresi kesenian—dalam konteks seni rupa kontemporer. Karena itu, sekali lagi, penyebutan seni gambar merupakan penekanan bahwa medium atau teknik gambar merupakan pilihan utama sang seniman dalam menghasilkan karya seni. Dengan kata lain pameran ini menekankan bahwa karya-karya yang ditampilkan adalah karya-karya dengan tujuan akhir adalah “karya seni” yang “selesai”, bukan semata-mata eskperimentasi gambar. Dalam upaya meletakkan gambar—yang selama ini dipandang sebagai proses preparatori untuk seni lukis dan patung, atau visualisasi awal gagasan—sebagai sebuah karya “seni gambar” yang mandiri maka meletakkannya sebagai kemungkinan representasi agaknya menjadi pilihan utama dalam pameran ini.
Maka, dalam pameran ini, konten representasi menjadi alibi bahwa karya yang ditampilkan adalah karya seni. Dengan kata lain pameran ini menegaskan bahwa dengan teknik gambar pun konten, subyek matter atau permasalahan yang hendak disuarakan dapat tampil dengan maksimal. Karena itu, bukan tanpa alasan bahwa para seniman diminta untuk menyuguhkan kemungkinan teknik gambar di atas kanvas. Hal ini tentu saja sama sekali tidak menciderai pengertian gambar, sebab istilah drawing on paper, menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan seperti juga kemungkinan drawing on canvas. Lagi pula hal tersebut pun telah ditunjukkan oleh banyak seniman yang memanfaatkan teknik gambar di atas kanvas dalam karya-karyanya. Bagaimanapun kanvas memiliki aura yang lebih dibandingkan kertas. Tentu saja hal ini tidak meniscayakan bahwa gambar di atas kertas lebih rendah. Pada akhirnya adalah persoalan pilihan, beberapa seniman memilih tetap menampikan karya seni gambar menggunakan kertas.
Namun demikian, terlepas dari konteks konten dan representasinya, perkara keragaman, eksplorasi dan konsep tentang gembar juga menjadi bagian penting yang menyertai pameran ini. Keragaman dan berbagai pendekatan gambar ditunjukkan dalam pameran ini, baik dari pengertian yang paling konvensional, sampai seni gambar yang cukup eksperimental. Demikian pula muncul karya-karya gambar yang sulit dibedakan dengan seni lukis. Hal itu harus diterima sebagai refleksi beragamnya pengertian dan kemungkinan seni gambar.
Selain itu, cukup menarik bahwa popularitas seni gambar muncul saat seni media baru menjadi bagian penting dalam seni rupa kontemporer. Agaknya ada relasi mutualistis, komplemen dan saling melengkapi. Perkembangan teknologi digital agaknya menyebabkan servis gambar terhadap proses melukis, khususnya seni lukis realis—yang kembali populer belakangan ini.—menjadi sangat berkurang. Saat ini proses penyapan dan pengerjaan seni lukis dan patung lebih mudah dibantu dengan perangkat digital, seperti kamera digital, software komputer dan proyektor LCD. Hal ini semakin membebaskan tugas gambar sebagai alat atau media bantu bagi seni lukis. Barangkali karena itu, belakangan banyak seniman memanfaatkan gambar sebagai wilayah otonom, sebagai terminal akhir praktek seninya. Yang menarik, bahkan seniman gambar pun saat ini memanfaatkan bantuan foto dan proyektor LCD dalam prose’s penyiapan dan pengerjaan seni gambarnya.
Tentu disadari bahwa pameran ini tidak akan dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan inlukisf mengenai kenyataan sesungguhnya seni gambar dalam medan seni rupa Indonesia. Namun demikian, sebisa mungkin diupayakan keragaman seni gambar dapat diperlihatkan. Hal itu ditunjukkan mulai dari seni gambar yang menunjukkan kepiawaian membentuk dengan tarikan garis yang ekspresif dan artistik sampai karya-karya yang serupa dengan gambar komik.
Seperti telah disebutkan di awal bahwa gambar selalu menyertai peradaban dan kebudayaan manusia. Segala jenis citraan dalam kebudayaan tradisi umumnya merupakan gambar, baik berupa sungging, rajahan, maupun ukiran di berbagai material. Karena itu dirasa penting untuk menampilkan seni gambar dari ranah tradisi, dan sepertinya Bali merupakan wilayah yang paling tepat untuk dipilih. Bagaimanapun di Bali gambar sebagai sebentuk seni tradisi dapat bertahan dan tembus ke era modern. Hal itu ditunjukkan bagaimana para seniman Bali legendaris macam Lempad dan banyak lainnya dapat mengindividuasi pakem gambar tradisi menjadi suatu karya yang personal namun tetap dapat menunjukkan identitas dan karakter ke Balian. ***
(Catatan ini menjadi pengantar dalam katalog Pameran Seni Gambar Kontemporer yang pamerannya telah diselenggarakan tahun 2009 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta)
*) Kurator dan staf pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB.
Sumber Artikel; indonesiaartnews.or.id
http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=48
BERNETT Newman, salah satu seniman papan atas Amerika, pernah berujar manusia yang pertama menjadi seniman adalah pada saat dia menorehkan sebuah garis di atas permukaan tanah menggunakan sebilah kayu. Torehan garis tersebut bisa dianggap sebagai gambar pertama. Gambar tampaknya selalu menyertai perjalanan peradaban dan kebudayaan manusia. Karena itu, tak mengherankan jika gambar menjadi wilayah sangat penting dan tak dapat dipisahkan dari dunia seni dan seniman. Sebetulnya “menggambar”, seperti corat-coret, membuat sketsa, membuat bagan dan sebagainya merupakan salah satu cara seniman (dan para perancang) dalam menvisualisasikan gagasan yang ada dalam kepalanya. Karena itu menggambar sesungguhnya juga merupakan upaya pengkongkretan imajinasi, gagasan seniman. Tentu saja setiap bentuk karya seni sesugguhnya merupakan bentuk pengkongkretan gagasan sang seniman, namun gambar menduduki posisi istimewa sebab dalam prosesnya merupakan visualisasi konkret yang paling awal, spontan dan langsung. Hal itu diutarakan dengan gamblang oleh G. Sidharta Soegijo: “Salah satu cara yang paling langsung untuk menghubungkan proses berpikir, yang berlangsung secara abstrak, dengan bentuk visual, yang konkret, adalah melalui gambar.”
Dalam nada yang sama, Kate Macfarlane dan Katharina Stout berujar: “It is to drawing that many artists turn when they are not sure how to proceed with a particular line of enquiry, or how to realise an ambitious proposal. As Avis Newman suggests, drawing offers the most direct access to the intimate workings of the artist's mind: 'I have always understood drawing to be, in essence, the materialisation of a continually mutable process, the movements, rhythms, and partially comprehended ruminations of the mind: the operations of thought. For this reason alone, drawing will always be at the heart of the visual arts'.”
Gambar menjadi bagian penting dalam perjalanan seni rupa Barat sejak masa Renesans sampai pada masa modern. Akademi seni di Eropa sejak abad 16 sampai abad 19 menekankan pentingnya gambar sebagai tulang punggung seni lukis dan seni patung. Apa yang dikenal sebagai akademisme, tak lain adalah formulasi dan pendekatan seni rupa yang menekankan pentingnya kemampuan menggambar bagi seorang seniman. Hal itu bisa kita lihat dari peninggalan gambar-gambar para pelukis-pelukis terkenal Eropa sejak masa Renesans sampai era seni rupa modern. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa gambar—atau lebih tepat seni gambar—menjadi kategori seni yang otonom baru beberapa tahun belakangan ini.
Agaknya, fungsi gambar sebagai preparatory—kerja persiapan untuk menghasilkan lukisan—menjadikan gambar tenggelam di bawah medium atau kategori seni yang disokongnya, yaitu seni lukis, seni patung dan seni grafis. Menjadi perangkat preparatory menjadikan gambar dibutuhkan, namun sekaligus diletakkan bukan sebagai tujuan akhir. Kendati gambar, atau kemampuan menggambar merupakan hal penting dalam seni lukis dan seni patung, namun hal itu lebih bertautan dengan proses penyiapan dalam eksekusi lukisan. Tentu saja yang dianggap lebih penting adalah hasil akhir atau tujuan akhir, yaitu lukisan atau patung. Tujuan akhir merupakan supremasi, dan dalam tradisi fine art apa yang menjadi akhir adalah yang utama, seperti dijelaskan oleh Mortimer J. Adler: “These are the arts that later came to be called the fine arts, when the word ‘fine’ is understood to mean ‘finis’ and to signify that the works produced by these arts were things to be enjoyed for their own sake, not to be used as means to further ends.”
Sejak masa Renesans ketrampilan menggambar menjadi bagian penting dalam melukis. Sejak masa Renesans pula seni lukis menjadi kategori seni tinggi (high art) yang otonom. Maka tak mengherankan di era seni rupa modern, lukisan merupakan kategori seni yang paling penting. Ironisnya supremasi seni lukis dicapai melalui dukugan yang tak lekang dari gambar. Agaknya, karena terlalu lama menservis seni lukis dan patung menyebabkan status atau kedudukan gambar menjadi problematik, sebagaimana diutarakan oleh Emma Dexter, “Yet the medium’s status has always been problematic, due to its servitude to the arts of painting and sculpture, as well as its association with preparation and incompletion.”
Pelukis kenamaan Perancis Ingres pernah berujar mengenai pentingnya gambar untuk painting, “If I were to put a sign above my door, it would read School of Drawing, and I’m certain that I would produce painters.” Hal itu tampaknya berlaku secara universal. Bukankah hal itu pula yang telah dibuktikan oleh Balai Universitas Pendidikan Guru Gambar (dibuka tahun 1947) yang menjadi cikal bakal seni rupa ITB?
Untuk menjadi kategori seni yang otonom ternyata gambar masih membutuhkan perjalanan panjang. Seni rupa modern yang lebih mementingkan konsep, semakin menempatkan gambar—sebagai proses preparatory—semakin tidak penting. Dari masa Renesans sampai akhir abad 19 virtuositas menggambar sepertinya menjadi keharusan bagi seniman agar dapat menghasilkan karya lukis dan patung yang berkualitas. Sebaliknya seniman modern justru mencurigai hal-hal yang berkait dengan aspek ketrampilan, termasuk ketrampilan menggambar. Deanna Petherbridge, seorang prefesor dalam bidang gambar menjelaskan situasi diametrikal antara masa klasik dengan kepercayaan pada pendekatan akademik melawan masa modern yang mendestruksi pendekatan akademik, “The practice of art in this century has been no less closely tied to education than it has in other times. Eighteenth-century neoclassicism, for example, is as closely allied with the spread of the academies. As modernism has been with the destruction of the academic system. The academy, as we all know, was posited on the teaching of life gambar, in fact learning art in the West since Renaissance has been entirely to do with question of disegno—as both drawing and composisitional design.”
Maka tak mengherankan jika bagi para seniman modernis, gambar, khususnya dalam pendekatan akademis menjadi wilayah yang tidak penting. Tentu saja seniman modern tetap membutuhkan visualisasi bagi gagasan dan pemikirannya, namun hal tersebut tak harus diterapkan melalui ketrampilan gambar yang canggih. Gambar atau sketsa yang dihasilkan oleh para seniman modern, konseptual dan avant garde tidak menunjukkan virtuositas gambar seperti para seniman di abad-abad sebelumnya. Formalisme dan pencarian esensi seni lukis telah menggeser pentingnya gambar sebagai proses preparatory untuk melukis. Karena itu segi ketrampilan menggambar ala akademisme (kemampuan gambar anatomis) makin hilang dan tidak penting di masa-masa seni rupa modern dan era neo avant-garde, yaitu masa-masa transisi dari seni rupa modern menuju seni rupa kontemporer.
Demikian pula, di masa-masa tersebut akademi seni rupa di Barat memandang pembekalan ketrampilan, termasuk gambar semakin tidak relevan, dan mengurangi secara drastis mata kuliah menggambar. Hal yang dikenal dengan sebutan de-skilling ini berkaitan (catatan dari subject of art) dengan arahan dan prioritas utama pada segi konsep. Proses menuju de-skilling ini agaknya sesuai dengan paradigma seni rupa modern, dan dalam beberapa hal kemudian juga ditunjukkan oleh seni rupa kontemporer—khususnya dalam karya-karya yang bersifat transgresif. Kendati kemudian juga terbukti bahwa seni rupa kontemporer menunjukkan pula karakter yang berlawanan dengan kecenderungan de-skilling, yaitu munculnya kembali (revival) kebutuhan terhadap skill atau ketrampilan.
Gambar Sebagai Wilayah Otonom dalam Seni Rupa Kontemporer
Setelah di akhir tahun 60-an sampai tahun 80-an gambar dianggap kurang penting dalam ruang lingkup pendidikan seni rupa, maka tahun 90-an ditandai dengan kegelisahan karena makin berkurangnya kemampuan menggambar para mahasiswa seni rupa. Ada upaya-upaya untuk “back to basic”, yaitu mengembalikan gambar sebagai variabel penting dalam seni rupa—termasuk dalam pendidikan tinggi seni rupa. Hal itu misalnya ditunjukkan oleh sebuah konferensi yang diadakan oleh Tate Gallery tahun 1993-1994 mengenai The role of drawing in Fine Art Education. Hal itu kemudian ditandai pula oleh dibukanya program studi gambar di beberapa perguruan tinggi seni rupa di Barat.
Di masa sebelumnya, kita tahu bahwa seni lukis modern yang puncaknya ditunjukkan oleh abstrak ekspresionisme mengalami kebuntuan. Perkembangan lebih lanjut yang ditunjukkan oleh Pop Art, Conceptual Art dan Minimal Art merupakan masa transisi dari seni rupa modern menunju seni rupa kontemporer. Penentangan pada konteks spiritual kesenimanan dan sublimasi seni lukis menyebabkan seni lukis pada awal tahun 70-an mendapatkan stigma, dan untuk beberapa saat mengalami titik nadir. Performance, happening, eart art, dan bentuk-bentuk seni patung dalam sense sculpture in extended field menjadi utama. Hal itu kemudian disusul oleh new media art. Namun secara perlahan tapi pasti seni lukis kembali menunjukkan kebangkitannya. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer bangkit dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium representasional—bukan sebagai entitas esensial dan sublim seni rupa.
Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi pemikiran (teori), konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah globalnya. Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan penentu di balik praktek produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai contoh, tak bisa disangkal bahwa kebangkitan seni lukis tidak lepas dari maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya art-fair di pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.
Yang menarik, bangkitnya gambar atau lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini ditengarai tidak lepas dari come-backnya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa kontemporer dengan kepercayaan pada pluralisme dan “apapun boleh” (anything goes) tidak memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis. Agaknya, melihat hal itu, para seniman yang tertarik dengan gambar sebagai kemungkinan medium seni rupa kontemporer mulai menampilkan dirinya. Karena itu Emma Dexter, editor Vitamin D (buku kompilasi seniman gambar yang paling komprehensif saat ini) berpendapat bahwa popularitas seni gambar sedikit banyak disebabkan oleh kembali populernya seni lukis: “In painting’s slipstream followed the shy sibling, gambar, arriving without any apologies or explanation. Gambar had never been widely theorized in its own right, allowing the field to be open for the artists to make of it what they choice.”
Selain itu, popularitas seni gambar ditengarai dodorong oleh arus balik pada hal-hal yang lebih moderat dan sederhana, setelah praktek seni rupa tahun 70an sampai 90-an disibukkan oleh aspek monumental seni. Hal itu diutarakan oleh Emma Dexter: “But when drawing first started to emerge autonomously in the mid-1990s, it was also the perfect medium to contrast with the sort of art that preceded it. Circa 1990, contemporary exhibition were dominated by a form of monumentalism, one that ironically trumpeted its decosntruction of the monument yet aped the monument’s hunger for the space, power and theatricality.”
Seni Gambar Kontemporer Indonesia
Dalam konteks seni rupa modern Indonesia gambar atau istilah gambar menduduki posisi penting. Sebelum istilah seni atau seni lukis dipergunakan dan populer, maka “gambar” merupakan istilah yang kerap dipergunakan untuk menunjuk beragam seni rupa 2 dimensi. Tentu kita masih ingat keberadaan Persagi, singkatan dari persatuan ahli-ahli gambar Indonesia, kendati yang terutama dipraktekkan adalah seni lukis. Istilah gambar dapat merujuk pada seni lukis karena seni lukis selalu menggambarkan seseorang atau sesuatu, lukisan adalah gambar atau gambaran tentang sesuatu. Hal itu juga menunjukkan bahwa istilah gambar, khususnya dalam konteks budaya Indonesia masa lalu memiliki pengertian yang lebih luas dari pengertian drawing. Sanento Yuliman almarhum dengan cakap menjelaskan hal tersebut: “Yang pertama-tama perlu diingat dalam membicarakan gambar ialah bahwa kata “gambar” mempunyai lingkup pengertian yang luas. Yang tampak di layar televisi ketika pesawat dihidupkan, yang kelihatan di layar bioskop ketika film main, demikian juga foto di harian dan majalah, lukisan, peta, denah, grafik, dan sebagainya, itu semua dalam bahasa Indonesia disebut “gambar”.
Saat ini pengertian istilah gambar tampaknya menyempit, khususnya dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia, mendekati pada pengertian drawing dalam bahasa Inggris. Namun demikian apa yang diutarakan Sanento Yuliman menunjukkan bahwa potensi seni rupa—apapun mediumnya—sebagai wilayah penggambaran (representasi) sesuatu hal atau persoalan merupakan hal yang mudah diterima sejak lama. Karena itu, tak mengherankan jika gambar sebagai wilayah atau kategori seni yang otonom mudah diterima oleh masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh penerimaan yang cukup terbuka pada karya-karya seni gambar. Terbukti, saat ini beberapa seniman muda menjadi populer semata-mata menggunakan teknik/medium gambar dalam berkarya.
Pameran ini menandai apa yang dijelaskan oleh Laura Hoptman, “it also mark a moment when drawing has become a primary mode of expression for the most inventive and influential, artist of the time." Terbukti, wajah seni rupa kontemporer Indonesia ditandai oleh karya-karya yang dikerjakan dengan teknik gambar dan masuk dalam kategori gambar, atau dalam hal ini lebih tepat disebut seni gambar. Barangkali istilah seni gambar terlalu berlebihan, sebab dalam bahasa Inggris cukup disebut drawing, bukan drawing-art. Namun, penyebutan seni gambar memang sebuah penekanan, seperti juga istilah seni lukis dan seni patung yang merupakan padanan istilah painting dan sculpture. Dengan demikian, jelas bahwa pameran ini berkenaan dengan gambar sebagai karya seni, khususnya dalam konteks seni rupa kontemporer.
Namun demikian, saat ini, tak mudah menetapkan secara tegas batasan seni gambar. Dalam beberapa hal seni gambar bergerak masuk dalam batasan seni lukis. Hal itu contohnya ditunjukkan oleh beberapa seni kontemporer kelas dunia yang karyanya dianggap sebagai drawing, namun juga diketegorikan sebagai painting. Menurut Emma Dexter karya-karya Marlene Dumas dan Elizabeth Payton menunjukkan kualitas “antara” (drawing dan painting): “In the case of Dumas, gambar has always featured heavily in her exhibitions, the juxtaposition between the more final and ‘developed’ form of painting and the immediacy of gambar being an essential element in the presentation of her work. In other cases, artists such as Elizabeth Peyton and Katharina Wulff have blurred the distictions between drawing and painting, transferring some of the fragility and immediacy of drawing into their painting. Using thin paint or combining media to leave the white ground uncovered, thus gaining an increased sense of immediacy and responsiveness from a medium often associated with closure and ponderausness".
Penjelasan serupa ditunjukkan oleh Deanna Petherbridge, yang merujuk karya David Salle dan Anish Kapoor: “Salle’s triptych ‘walking the dog’ of 1982 is in oil and acrylic on cotton, although it is andoubtedly drawn in line, and Kapoor’s gouaches and moulded paper pieces from his Tate exhibition of 1989 are designated ‘gambar’ althought they have nothing to do with line.”
Dengan ketiadaan spesifikasi medium, maka cukup sulit untuk menetapkan definisi gambar yang pasti. Kita sepertinya “mengerti” apa itu gambar, namun benarkah demikian? Karena apa yang kita sebut gambar bisa cukup beragam dan berbeda karakternya. Di sisi lain cairnya batasan gambar justru merupakan sebuah berkah, karena akan melebarkan kemungkinan-kemungkinan seni gambar, pun tak masalah jika tumpang tindih dengan wilayah atau medium lain. Bukankah atmosfir seni rupa kontemporer ditandai oleh ketidaksukaan pada batasan yang pasti dan definitif?
Sebelumnya disebut bahwa di masa lalu gambar belum sampai pada kondisi otonom. Namun jika sekarang gambar menjadi medium yang “otonom” tentunya tidak dalam sense beranalogi dengan otonomi seni yang kaku. Karena seni sebagai wilayah otonom dianggap sebagai konstruksi yang diangan-angankan oleh seni rupa modern—yang terbukti tidak tercapai. Yang dimaksud gambar sebagai seni yang otonom adalah keberadaan gambar sebagai tujuan akhir ekpresi seni—bukan sebagai preparatori atau sketsa. Karena itu karakter bahwa seni gambar menjadi medium akhir (selesai sebagai karya seni) tidak diikuti oleh ketentuan formulatif atau absolut mengenai “kebenaran” seni gambar. Seni gambar mengikuti kaidah seni rupa kontemporer yang pluralis: segala macam kemungkinan seni gambar berhak hidup. Karena itu, menurut para pengamat, seni gambar mengalami kemajuan yang sangat pesat, sehingga batas-batasnya pun meluas, yang dalam istilah Emma Dexter disebut drawing within an expanded field —mengingatkan kita pada istilah sculpture in the expanded field.
Harus diakui Pameran Seni Gambar Kontemporer bukanlah upaya menyuruk untuk memeriksa sejauh mana seniman menterjemahkan atau mencari kemungkinan seni gambar. Arah yang diambil dalam pameran ini lebih sederhana, yaitu menunjukkan bahwa gambar dapat menjadi media yang otonom untuk ekpresi kesenian—dalam konteks seni rupa kontemporer. Karena itu, sekali lagi, penyebutan seni gambar merupakan penekanan bahwa medium atau teknik gambar merupakan pilihan utama sang seniman dalam menghasilkan karya seni. Dengan kata lain pameran ini menekankan bahwa karya-karya yang ditampilkan adalah karya-karya dengan tujuan akhir adalah “karya seni” yang “selesai”, bukan semata-mata eskperimentasi gambar. Dalam upaya meletakkan gambar—yang selama ini dipandang sebagai proses preparatori untuk seni lukis dan patung, atau visualisasi awal gagasan—sebagai sebuah karya “seni gambar” yang mandiri maka meletakkannya sebagai kemungkinan representasi agaknya menjadi pilihan utama dalam pameran ini.
Maka, dalam pameran ini, konten representasi menjadi alibi bahwa karya yang ditampilkan adalah karya seni. Dengan kata lain pameran ini menegaskan bahwa dengan teknik gambar pun konten, subyek matter atau permasalahan yang hendak disuarakan dapat tampil dengan maksimal. Karena itu, bukan tanpa alasan bahwa para seniman diminta untuk menyuguhkan kemungkinan teknik gambar di atas kanvas. Hal ini tentu saja sama sekali tidak menciderai pengertian gambar, sebab istilah drawing on paper, menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan seperti juga kemungkinan drawing on canvas. Lagi pula hal tersebut pun telah ditunjukkan oleh banyak seniman yang memanfaatkan teknik gambar di atas kanvas dalam karya-karyanya. Bagaimanapun kanvas memiliki aura yang lebih dibandingkan kertas. Tentu saja hal ini tidak meniscayakan bahwa gambar di atas kertas lebih rendah. Pada akhirnya adalah persoalan pilihan, beberapa seniman memilih tetap menampikan karya seni gambar menggunakan kertas.
Namun demikian, terlepas dari konteks konten dan representasinya, perkara keragaman, eksplorasi dan konsep tentang gembar juga menjadi bagian penting yang menyertai pameran ini. Keragaman dan berbagai pendekatan gambar ditunjukkan dalam pameran ini, baik dari pengertian yang paling konvensional, sampai seni gambar yang cukup eksperimental. Demikian pula muncul karya-karya gambar yang sulit dibedakan dengan seni lukis. Hal itu harus diterima sebagai refleksi beragamnya pengertian dan kemungkinan seni gambar.
Selain itu, cukup menarik bahwa popularitas seni gambar muncul saat seni media baru menjadi bagian penting dalam seni rupa kontemporer. Agaknya ada relasi mutualistis, komplemen dan saling melengkapi. Perkembangan teknologi digital agaknya menyebabkan servis gambar terhadap proses melukis, khususnya seni lukis realis—yang kembali populer belakangan ini.—menjadi sangat berkurang. Saat ini proses penyapan dan pengerjaan seni lukis dan patung lebih mudah dibantu dengan perangkat digital, seperti kamera digital, software komputer dan proyektor LCD. Hal ini semakin membebaskan tugas gambar sebagai alat atau media bantu bagi seni lukis. Barangkali karena itu, belakangan banyak seniman memanfaatkan gambar sebagai wilayah otonom, sebagai terminal akhir praktek seninya. Yang menarik, bahkan seniman gambar pun saat ini memanfaatkan bantuan foto dan proyektor LCD dalam prose’s penyiapan dan pengerjaan seni gambarnya.
Tentu disadari bahwa pameran ini tidak akan dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan inlukisf mengenai kenyataan sesungguhnya seni gambar dalam medan seni rupa Indonesia. Namun demikian, sebisa mungkin diupayakan keragaman seni gambar dapat diperlihatkan. Hal itu ditunjukkan mulai dari seni gambar yang menunjukkan kepiawaian membentuk dengan tarikan garis yang ekspresif dan artistik sampai karya-karya yang serupa dengan gambar komik.
Seperti telah disebutkan di awal bahwa gambar selalu menyertai peradaban dan kebudayaan manusia. Segala jenis citraan dalam kebudayaan tradisi umumnya merupakan gambar, baik berupa sungging, rajahan, maupun ukiran di berbagai material. Karena itu dirasa penting untuk menampilkan seni gambar dari ranah tradisi, dan sepertinya Bali merupakan wilayah yang paling tepat untuk dipilih. Bagaimanapun di Bali gambar sebagai sebentuk seni tradisi dapat bertahan dan tembus ke era modern. Hal itu ditunjukkan bagaimana para seniman Bali legendaris macam Lempad dan banyak lainnya dapat mengindividuasi pakem gambar tradisi menjadi suatu karya yang personal namun tetap dapat menunjukkan identitas dan karakter ke Balian. ***
(Catatan ini menjadi pengantar dalam katalog Pameran Seni Gambar Kontemporer yang pamerannya telah diselenggarakan tahun 2009 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta)
*) Kurator dan staf pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB.
Sumber Artikel; indonesiaartnews.or.id
http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=48
No comments:
Post a Comment