Wednesday, September 12, 2012

Gambar Dokumenter dan Permasalahannya.


Dokumenter, istilah ini berasal dari ranah film (cinema) walaupun awalnya berasal dari still fotografi. Dokumenter berarti bahwa obyek tersebut memuat nilai faktual, obyektif, non fiksi dan bernilai jurnalistik.
Kita sekarang mengenal istilah dokumenter lebih pada film walaupun dunia fotografi dokumenter mempunyai nilai yang tidak kalah hebat. Penghargaan pulitzer sejatinya adalah fotografi dokumenter yang memuat bobot berita dan menjadi penghargaan paling bergengsi di ranah fotografi jurnalistik.

Documentary kemudian diserap menjadi 'dokumenter' pertama di gunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh the Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926. sedang di Perancis istilah ini digunakan untuk semua film non fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. (Wikipedia Indonesia). 

Berangkat dari makna dokumenter tersebut maka bobot fakta peristiwa tentu menjadi keutamaan dan kamera fotografi atau film hanyalah media/ alat merekam, mendokumentasikan. Lalu bagaimana dengan gambar/ drawing?

Dahulu kala sebelum ditemukannya kamera orang mencatat peristiwa dengan menggambar. Gambar gambar di dinding gua (yang sebagian besar gambar hewan) dari masa prasejarah adalah catatan tentang perburuan binatang walaupun sebagian kemungkinan berisi harapan dan keyakinan spiritual. Yang menjadi perhatian adalah seniman masa itu telah mampu menangkap intisari bentuk dan merepresentasikan bermacam-macam spesies hewan.

Barangkali sejarah dokumentasi berawal dari gua ini, gambar gambar yang dihasilkan dan bersumber dari perikehidupan mereka sehari hari. Saat itu mereka menggunakan media (gua Lascaux) pigmen tanah berwarna coklat, hitam, kuning dan merah. Kemudian di Indonesia kita mengenal relief candi Borobudur dengan relief perahu tradisional bercadik ganda, sebuah upaya dokumentasi yang berusaha merepresentasikan kebudayaan pelaut nenek moyang. Dari dunia lukis ada Mohamad Toha, sang pelukis cilik yang melukis suasana peperangan saat agresi militer Belanda ke dua di Yogyakarta tahun 1948. Karya karyanya yang juga semacam kronik sejarah sekarang malah bertengger di Rijksmuseum Belanda.

Jika apa yang disebut sebagai dokumenter selalu merupakan upaya merepresentasikan kenyataan kembali maka fotografi dan film adalah media yang paling tepat karena kesanggupannya merekam realitas secara akurat. Namun kamera hanyalah sebuah mesin, terlalu banyak variabel yang membuat sebuah gambar foto sebenarnya adalah hasil campur tangan mendalam manusia atau artinya kurang lebih, kamera hanya menemukan artinya ketika berelasi dengan manusia.
Sudut pandang, pertimbangan cahaya, kecepatan rana dan diafragma, kepekaan momen peristiwa dan lain lain adalah faktor penting keberhasilan karya foto dokumenter.

Yang hendak saya maksudkan adalah walaupun dokumenter lebih banyak bersifat jurnalistik dan selalu kurang dianggap sebagai bentuk karya seni, aspek subyektifitas tidak bisa diabaikan. Dalam film dokumenter perhatian beralih pada segi estetik dokumenter karena ide kebenaran dan keaslian suatu dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan dan diubah sehubungan dengan pendekatan estetik dokumenter dan film non fiksi lainnya.

Adalah film The Thin Blue Line karya Errol Morris dan karya Michael Moore ; Roger and Me menempatkan kontrol sutradara yang jauh lebih interpretatif. Kritikus menyebut sebagai mondo film atau docu ganda. Manipulasi sutradara pada subyek subyek dokumenter telah ada pada era Flaherty (Wikipedia Indonesia).

Richard Barsam  mengenalkan daftar kategori 'film non fiksi' yang menempatkan dokumenter itu sendiri di luar kategori lain karena menurutnya peran si pembuat film dalam menentukan interpretasi materi dalam jenis jenis film tersebut jauh lebih spesifik. (lihat posting 'Apa itu Dokumenter').

Kita melihat ada soal interpretasi sutradara bahkan soal 'manipulasi' dalam sejarah film non fiksi yang dalam dunia gambar (drawing) keadaannya kurang lebih sama bahkan lebih jauh. Karena gambar jelas bukan alat rekam sebaik kamera dan gambar adalah media ekspresi yang langsung atau spontan dari manusia. Interpretasi dan manipulasi dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Bagaimana sebuah gambar/ drawing bisa disebut sebagai sebuah dokumenter? Sejauh sebuah gambar mampu merepresentasikan realitas sesungguhnya sehingga memuat informasi yang dapat dilacak 'sumber' peristiwanya, maka gambar itu memiliki nilai dokumentasi/dokumenter.

Ketika dalam film atau foto dokumenter mewacanakan ihwal nilai atau aspek artistik, maka sebuah gambar/drawing yang nota bene lebih merupakan media ekspresi akan menjadi jauh lebih artistik dan personal. Bobot nilai artistik dalam drawing seharusnya menjadi nilai lebih selain bobot interpretasi sang seniman terhadap momen peristiwa. Kekuatan gambar/ drawing pada akhirnya akan terletak pada bentuk torehan elemen garis, visualisasi adegan, empati seniman bahkan narasi yang mendalam pada simbol simbol visual. Sampai di sini terlibatnya prinsip-prinsip seni rupa tidak bisa dielakkan.

Walau bagaimanapun sebuah karya yang dihasilkan oleh tangan manusia akan mendapatkan apresiasi yang berbeda. Sebagaimana karya karya si kecil Toha yang di Rijksmuseum mendapatkan perawatan dan pengamanan yang ketat setara dengan karya karya maestro dunia.    

Indarto Agung Sukmono





No comments:

Post a Comment