Thursday, April 19, 2012

Antropologi Visual dan Antropologi Seni

Oleh:  Hairus Salim HS

ANTROPOLOGI visual telah lama diakui sebagai sub-disiplin antropologi sosial-budaya. Di Amerika, konon, antropologi visual telah memiliki seksinya di dalam Asosiasi Antropologi Amerika (American Anthropological Association—AAA), mempunyai dua jurnal yang mapan, dan sesi-sesi pertemuan dan simposium yang rutin.
Minat mahasiswa mengkaji antropologi visual pun diakui sangat meningkat. Namun seperti cabang antropologi lainnya, wilayah disiplin ini diakui terlalu sangat luas dan enggan memberi ruang pada studi manusia di luar orbitnya.

Secara umum ada dua fokus antropologi visual: di satu sisi ia konsen pada penggunaan bahan-bahan visual di dalam penelitian antropologi. Di sisi lain, ia dipahami sebagai kajian terhadap sistem-sistem visual dan budaya visibel. Namun pada praktiknya, sejauh ini apa yang disebut sebagai antropologi visual itu terbatas dan lebih banyak pada yang pertama, yaitu sebagai suatu bentuk representasi seorang (atau lebih) antropolog terhadap suatu komunitas dengan menggunakan perangkat (teknologi) visual —terutama foto dan film— untuk kepentingan eksplorasi (exploration) maupun sebagai perekaman data (recording data).
Sementara yang kedua, bagaimana antropologi visual menjadi suatu studi terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas, masih banyak terabaikan.1 


Tentu saja ada perdebatan yang panjang mengenai status “data” yang diperoleh dari penggunaan bahan-bahan visual tersebut. Ini terutama berkait dengan paradigma teoritis yang menyertai praktik pengumpulan data tersebut.2  Dalam banyak hal, praktik pengumpulan data via visual yang berujung pada ‘objektivikasi’ penelitian ini sering jatuh pada penelitian ‘tentang’ (on) masyarakat, dan bukan ‘bersama’ (with) masyarakat.3  Namun apapun perdebatan itu, praktik yang pertama inilah yang dominan dalam perkembangan antropologi visual.

Sementara itu, mungkin sebagai konsekuensi dari hal yang pertama itu pula, antropologi visual sangat didominasi oleh foto dan film. Sejak Margaret Mead  dan Gregory Bateson melakukan penelitian tentang Bali pada tahun 1930-an, fotografi hampir selalu menjadi mitra penting antropolog dalam melakukan penelitian.
Selain untuk kepentingan eksplorasi, analisis data lebih lanjut, foto juga menjadi bukti ‘kehadiran’ sang antropolog dalam ‘observasi-partisipatori’ (being there). Kadang, foto di sana hadir dengan kepentingan yang simpel saja, yakni sebagai ilustrasi. Karena itulah, menurut Ira Jackins ( Marcus Banks & Howard Morphy, hlm. 4), pada dasarnya setiap antropolog mengerjakan antropologi visual (namun) tanpa mengakui atau menyadarinya.

Selain foto, film juga mendominasi bidang antropologi visual melalui apa yang disebut sebagai film etnografi.4  Menurut Marcus Banks & Howard Morphy, ada alasan-alasan praktis-pragmatis mengapa film begitu mendominasi sub-disiplin ini. Pertama, menyusul pengabaian yang panjang dan luar biasa terhadap media perekaman visual sebagai perangkat metodologis, pemakaian film dalam penelitian antropologi lalu sedemikian ditekankan. Kedua, film mampu menyedot audiens yang luas yang mungkin bisa melampaui peminat antropologi sendiri. Ketiga, perangkat teknologi film yang sudah praktis dan murah. Terakhir, film adalah media yang ‘seksi’, yang sangat dekat dengan dunia 'glamour' sinema dan televisi.
Mungkin karena itulah, pendekatan etnografi film ini dicurigai banyak menggiring mahasiswa memproduksi film untuk kepentingan sendiri. Singkatnya, tanpa sumbangan teoritis terhadap sub-disiplin ini, dominasi film di bidang ini hanya dicurigai sebagai batu loncatan untuk masuk ke dunia media (film).

Namun, jelas antropologi visual bukan hanya film dan fotografi. Ia juga menyangkut studi terhadap seni dan budaya materi (material culture),5  investigasi gestur, ekspresi muka, dan aspek-aspek tingkah laku dan interaksi yang spasial. Dalam hal meningkatnya akhir-akhir ini apa yang disebut sebagai ‘indigenous media’, antropologi visual menjadi sangat penting, terutama dalam perspektif yang kedua: suatu studi terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas.

Studi terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas, pada tahapan berikutnya erat dengan studi ‘materi budaya’, yakni studi terhadap produk materi anggota suatu budaya. Di sini dipelajari ‘cara memandang’ (ways of seeing) di dalam maupun antar masyarakat, dan bagaimana pengaruhnya dalam tindakan dan konseptualisasi terhadap dunia.

Kadang –dan sering– perhatian diberikan pada transformasi budaya materi ini dari suatu konteks ke konteks lain. Budaya materi suatu komunitas ketika dipindahkan dari konteks produksinya bisa menjadi suatu objek seni barat, dengan nilainya yang sangat berbeda dari konteks budaya aslinya. Misalnya, Rumah Seni Cemeti  (RSC) pernah memamerkan kain-kain 'Biboki' dari Nusa Tenggara Timur. Di tempat asalnya, kain Biboki jelas mempunyai nilai sosial dan spiritualnya, namun di RSC ia menjadi objek seni; bahwa sesuatu yang bukan objek seni, berubah menjadi seni karena pengkerangkaannya di ruang pameran. Ditonton, dinikmati, dan diapresiasi.

Sementara, dalan kaitan produk seni ini, interaksi dunia yang makin intensif sekarang ini, jelas memantulkan pengaruhnya yang kuat. Mungkin dalam hal produk seni, hampir semua seniman sekarang berwatak posmodernis. Artinya, karya-karya mereka –baik menyangkut ide, bentuk, dan bahan– mengundang diskusi tentang orisinilitas, identitas, dan hibriditas. Dalam hal inilah, antropologi visual penting juga memasukkan antropologi seni, budaya materi, dan bentuk-bentuk ritual sebagai ‘mitra’-nya.

Dalam tulisannya, “Collectivity and Nationality in the Anthropology of Art” (dalam Marcus Banks & Howard Morphy), Nicholas Thomas menegaskan bahwa antropologi visual harus memasukkan antropologi seni. Tetapi sebelumnya, menurut dia, antropologi seni itu mesti direformulasikan
kembali. Nicholas berpendapat bahwa antropologi seni yang ada dan diajarkan selama ini secara khusus (atau terbatas) hanya mengkaji “seni non-Barat”.6  Dengan itu, seni kontemporer, yang hakikat maupun bentuknya bersifat barat sedikit banyak terabaikan, terutama dalam hal ini apa yang dimaksud sebagai “visual art.” Ini, menurutnya, karena memang antropologi seni dirumuskan awalnya secara langsung dari studi ‘seni masyarakat primitif’ (study of primitive of art).

Bagi Nicholas, antropologi seni seperti ini sudah tidak cocok lagi. Pertama, tentu karena sifatnya lalu sangat terbatas. Kedua, pada praktiknya media-media baru di dalam seni sering berkait dengan ikonografi tradisional. Wilayah seni seperti ‘seni visual’ atau ‘performance art’ itu sering menjadi lahan transformasi dan eksplorasi baru para seniman tradisi. Ketiga, sebagai konsekuensinya, seni sekarang ini selalu bersifat hibrid, hasil dari interaksi dan dialog global. Tentu tidak bisa lagi ditarik garis hitam putih ini seni barat dan ini seni (tradisi) timur.7
Refleksi, atau “unek-unek” ini mungkin berlebihan. Toh, pada praktiknya, studi terhadap budaya visual di jurusan antropologi (seperti tentang komik, pakaian [jilbab, kaos oblong], tato dll.) terus berlangsung. Dan bukankah juga sekarang telah berkembang apa yang disebut sebagai “studi budaya visual”, yang bahkan hendak dikembangkan sebagai “disiplin” tersendiri. Wataknya sangat eklektik, inter dan multi-disipliner, termasuk di dalamnya antropologi. Di sini “visual culture” dipahami sebagai “artefak-artefak material”, bangunan dan citra, media dan pertunjukan yang berbasis waktu (plus time-bases), yang diproduksi untuk tujuan estetika, simbolik, ritual, politik ideologis, atau pun tujuan-tujuan praktis lainnya, yang signifikansinya dialamatkan pada penglihatan atau perupaan.8
19 Maret 2012

Eksekutif Direktur Yayasan LKiS —Yogyakarta


------------------------------------------------------------------------

Catatan:

[1] Wawasan ini terutama saya ambil dari Marcus Banks & Howard Morphy, “Introduction: rethinking visual anthropology”, dalam Rethinking Visual Anthropology , Marcus Banks &
Howard Morphy (/ed/.), Yale University Press, 1999.

[2] Dalam paradigma evolusi, foto dan film dengan pahit hanya menjadi pelanjut untuk menghadirkan yang visibel dan riil dari ‘tubuh’ manusia dunia ketiga, yang sebelumnya hadir secara fisik di dalam pameran-pameran, sirkus-sirkus, dan hiburan lainnya, kini lebih praktis dan murah, dalam bentuk foto dan film, demikian David MacDougall. Foto-foto realis, yang indah dan eksotik, kemudian juga hadir dalam brosur-brosur wisata dan kartu pos.

[3] Sarah Pink, Doing Visual Ethnography, Sage Publications, 2001, hlm. 23. Perdebatan paradigma teoritis yang membentang dari evolusionisme hingga reaslime naïf dalam etnofotografi ini terdapat dalam bagian-bagian awal buku ini.

[4] Mengenai contoh-contoh etnografi film ini, lihatlah Karl G. Heider, Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film Allyn and Bacon, 1996, yang menghimpun sejumlah topik film etnografi
disertai CD-nya. Yang menarik, seluruh film etnografi ini memiliki dukungan etnografi tertulisnya. [Tambahan redaksional Ahmad Nashih Luthfi] Di sini yang visual menjadi pendukung yang tertulis, ataukah sebaliknya, yang tertulis mendukung yang visual? Dalam contoh Indonesia baru-baru ini, terdapat buku CD-film oleh Yunita T. Winarno (ed.), Bisa Déwék, Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu (Jakarta: Gramata Publishing, 2011)

[5] Terjemahan istilah ini dalam bahasa Indonesia jelas problematis, karena bisa disalah-mengertikan semacam budaya konsumsi, materialis dll.

[6] Tentu saja, ini turunan langsung dari watak ilmu antropologi sendiri yang sebelumnya dan sejauh ini dianggap sebagai “ilmu yang mempelajari masyarakat timur” dan karena itu sering dipertautkan dengan (kepentingan) “kolonialisme” saat itu.

[7] Nicholas mengkaji bagaimana seni yang bekerja dalam konteks yang luas bisa dipahami untuk mencitrakan kolektivitas–kesatuan sosial, nasionalitas dan etnisitas. Ia mengkaji praktik ritual Melanesia dan karya-karya lukis kontemporer para seniman imigran kulit putih maupun Polinesia (Maori), di Selandia Baru.

Pengalaman saya di Majalah Gong  juga mengalami pengkerangkaan serupa. Semula majalah kami tidak memberikan tempat untuk “seni visual”, dengan alasan itu bukan seni pertunjukan dan sekaligus bukan seni tradisi. Baru belakangan inilah, sedikit-sedikit Gong melaporkan kegiatan seni visual, terutama yang intim dengan gagasan tradisi atau dalam prosesnya terbentuk dari interaksi global itu.

[8] Lihat: John A. Walker & Sarah Chaplin, Visual Culture: An Introduction , Manchester University Press, 1997.

Sumber :  http://www.etnohistori.org



No comments:

Post a Comment