Sunday, May 8, 2011

Apa itu Dokumenter?

Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman ‘aktualitas’—potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan dan tanpa media perantara. Walaupun kadang menjadi materi dalam pembuatan dokumenter, faktor ini jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena materi-materi tersebut harus diatur, diolah kembali, dan diatur strukturnya. Terkadang bahkan dalam pengambilan gambar sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of shot), pencahayaan dan lain-lain agar dapat mencapai hasil akhir yang diinginkan.



John Grierson pertama-tama menemukan istilah dokumenter dalam sebuah pembahasan film karya Robert Flaherty, Moana (1925), yang mengacu pada kemampuan sebuah media untuk menghasilkan dokumen visual suatu kejadian tertentu. Grierson sangat percaya bahwa “Sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula.” Oleh karena itu dokumenter pun termasuk didalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik, yang dalam istilahnya disebut “creative treatment of actuality” (perlakuan kreatif atas keaktualitasan). Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis representasi lain dari realitas itu sendiri.

Kebanyakan penonton dokumenter di layar kaca sudah begitu terbiasa dengan kode dan bentuk yang dominan sehingga mereka tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter tersebut. Misalnya penonton sering menyaksikan dokumenter yang dipandu oleh voiceover, wawancara dari para ahli, saksi dan pendapat anggota masyarakat, set lokasi yang terlihat nyata, potongan-potongan kejadian langsung dan materi yang berasal dari arsip yang ditemukan. Semua elemen khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai sebuah bentuk sinematik.

Ini penting ditekankan, karena dalam berbagai hal, bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni karena seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat jurnalistik dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan dokumenter dalam bentuk pemberitaan, terdapat perubahan kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik oleh para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini. Dan kini perdebatannya berpindah pada segi estetik dokumenter karena ide kebenaran dan keaslian suatu dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan dan diubah sehubungan dengan pendekatan segi estetik dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya.

Satu titik awal yang berguna adalah daftar kategori Richard Barsam yang ia sebut sebagai “film non-fiksi” Daftar ini secara efektif menunjukkan jenis-jenis film yang dipandang sebagai dokumenter dan dengan jelas memiliki ide dan kode etik tentang dokumenter yang sama. Kategori-kategori tersebut adalah:
• film faktual
• film etnografik
• film eksplorasi
• film propaganda
• cinéma-vérité
• direct cinema
• dokumenter

Pada dasarnya Barsam menempatkan dokumenter itu sendiri di luar kategori lain karena ia mengatakan bahwa peran si pembuat film dalam menentukan interpretasi materi dalam jenis-jenis film tersebut jauh lebih spesifik.

Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah sangat pesat dan beragam, tetapi ada beberapa unsur yang tetap dan penggunaannya; yakni undur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter.

Unsur Visual:
1. Observasionalisme reaktif: pembuatan film dokumenter dengan bahan yang sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan. Hal ini berhubungan dnegan ketepatan observasi oleh operator kamera/sutradara.

2. Observasionalisme proaktif: Pembuatan film dokumenter dengan memilih materi film secara khusus sehubungan dengan observasi terdahulu oleh operator kamera/sutradara.

3. Mode ilustratif: Pendekatan terhadap dokumenter yang berusaha menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narator/voice over.

4. Mode asosiatif: Pendekatan dalam dunia dokumenter yang berusaha menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara. Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harafiah dalam film, dapat terwakili.

Unsur Verbal:
1. Overheard exchange: Rekaman pembicaraan antaradua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung.

2. Kesaksian: Rekaman observasi, opini atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan utama dari wawancara.

3. Eksposisi: Penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumen.

Perkembangan Dokumenter

A. Dari Travelog hingga Dokumenter Arahan

Sejarah film non-fiksi berawal dari perkembangan awal film. Berlanjut dari still photography dan studi tentang gerakan seperti yang dipotret oleh Edward Muybridge hingga meluasnya trend dalam seni untuk merekam ‘realitas, dalam cara yang paling akurat,’ ‘aktual’ atau ‘bersifat dokumenter’. Trend yang dipopulerkan oleh Lumiere bersaudara pada tahun 1895 ini merupakan sebagian dari film non-fiksi pertama. Beberapa dari film itu adalah Workers Leaving the Lumière Factory dan Arrivèe d’un train en gare à la Ciotat, dan hanya merupakan contoh kejadian sehari-hari yang terekam oleh kamera statis. Penonton takjub karena itulah pertama kalinya mereka menyaksikan peristiwa-peristiwa nyata dalam bentuk film. Film-film pendek serupa dibuat oleh Edison di Amerika dan fenomena itu dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, ditandai dengan bermunculannya karya-karya serupa dari Spanyol, India dan Cina.

Mungkin, contoh-contoh utama yang mencirikan bentuk dokumenter adalah film yang muncul setelah revolusi Rusia tahun 1917 dan terutama karya Dziga Vertov – mengedit sebuah film berita berjudul Kino-Pravda (secara harafiah berarti ‘Kebenaran-Film’) – dan mengembangkan suatu pendekatan yang dipergunakan dalam sebuah film berjudul Kinoki (‘mata-sinema’). Buatnya tugas seorang pembuat film adalah mengungkapkan bahwa dalam hidup itu tidak ada yang terjadi secara kebetulan, pembuat film diharapkan dapat menangkap hubungan dialektis antara kejadian-kejadian yang sangat berlawanan dalam realita; tugasnya adalah untuk mengungkap konflik yang terkandung dalam kekuatan antagonistik di kehidupan dan memaparkan dengan jelas ‘sebab dan akibat’ dari fenomena kehidupan. Penggunaan media film oleh Vertov sangatlah kreatif dan ia secara terus-menerus menekankan pentingnya seni pembuatan film dan terpolitisirnya realita yang berhasil terekam. Pertentangan antara menampilkan ‘aspek’ rekaman (yaitu penggunaan kamera secara tidak lazim, editing yang kompleks, dsb) dan ‘isi’ yang ditunjukkan membuat rancu konsep film sebagai dokumentasi.

Hal ini terutama berhubungan dengan karya selanjutnya dan yang paling terkenal, The Man with the Movie Camera (1929). Sutradara cinéma-vérité, Richard Leacock, mengatakan bahwa film berita Vertov bersifat persuasif, walaupun kelaparan dan bencana yang terekam itu terkesan dangkal. Rasa estetika Vertovlah yang dalam pikiran Leacock sangat menjauhkannya dari semangat murni bidang dokumenter dalam menunjukkan kehidupan seperti apa adanya.

Formalisme serupa muncul pada apa yang kemudian dikenal sebagai dokumenter City Symphony yang meliputi Rien que les heures (1926), disutradarai oleh Alberto Cavalcanti, dan Berlin, Symphony of a Great City (1927) karya Walter Ruttman. Kedua karya tersebut diwarnai oleh tehnik-tehnik baru dan surealis. Pada dasarnya, kedua film tersebut merupakan gambaran dari tiap-tiap kota, dengan menggunakan potongan gambar dari berbagai lokasi sesungguhnya untuk mengungkapkan kontradiksi antara kaya dan miskin. Walaupun menghadapi tuntutan para formalis, kedua film tersebut berhasil mencapai sukses dalam memancing pendapat publik, dan berpengaruh dalam keberhasilan mereka menggunakan gambaran kehidupan manusia sehari-hari, obyek dan lokasi untuk efek politis dan simbolis.

Di Amerika, film non-fiksi pada mulanya berbentuk travelog (suatu istilah yang ditemukan oleh Burton Holmes), yaitu potongan gambar yang diambil di negara asing dan dipertontonkan dalam perkuliahan dan pemutaran slide untuk memperkenalkan penonton pada budaya yang berbeda-beda dan berbagai tempat eksotis.

Tahun 1904, pada Pameran St Louis, Tours and Scenes of the World yang dibuat oleh George C. Hale cukup berhasil, tapi tidak mencapai taraf yang sama dengan film perjalanan safari Presiden Teddy Roosevelt ke Afrika atau pengalaman Robert Scott ke Kutub Selatan. Film-film perjalanan (travelog) tersebut menarik minat publik Amerika karena film tersebut menunjukkan jiwa petualangan dan keberanian orang Amerika; mendukung adanya pandangan bahwa kesadaran orang Amerika yang tinggi ini terlihat dari jiwa perintis dan kemampuan bertahan dari ‘daerah perbatasan’.

Pandangan ini menopang tradisi aliran Romantis pembuatan film, diawali dengan potongan gambar travelog para koboi dan orang Indian dan mencapai perwujudannya yang sempurna dalam film karya Robert Flaherty. Namun, perlu disebutkan secara khusus mengenai Merian C. Cooper dan Ernest Schoedsack yang membuat Grass (1925), sebuah film tentang suku nomadis Iran mencari padang rumput yang masih segar, dan Chang (1927), yang mengikuti pengalaman sebuah keluarga Thailand di dalam hutan, di dalamnya terdapat juga adegan berbagai binatang predator yang berusaha memangsa para wanita dan anak. Film ini sangat mempengaruhi film Cooper dan Shoedsack yang paling terkenal, King Kong (1933).

Namun, Robert Flaherty-lah yang paling memberikan wujud bagi bentuk dokumenter sebagai suatu alat etnografis (studi ilmiah tentang ras lain melalui observasi langsung dan antropologis). Disponsori oleh perusahaan pakaian yang terbuat dari bulu hewan, Revillon Freres, Flaherty membuat Nanook of the North (1922), sebuah studi tentang suku Inuit Eskimo di sebelah utara Kanada, yang dikenal sebagai salah satu film paling berpengaruh dalam aliran tersebut.

Mungkin film itu memberikan semua petunjuk yang kita perlukan untuk mendefinisikan baik dokumenter maupun batasan-batasannya yang dapat diterima. Seperti diungkapkan oleh Barsam dan Calder-Marshall di atas, film karya Flaherty adalah film-film ‘arahan’ dengan tujuan tertentu; suatu tujuan yang dapat kita sebut tak hanya untuk merekam kehidupan orang Eskimo, tapi juga untuk mengingat dan menampilkan kembali masa kehidupan orang Eskimo yang lebih primitif, lebih ‘nyata’, di waktu lalu.
Tujuan nostalgia ini hanya dipakai untuk memitologikan kehidupan orang Eskimo, dan pada taraf tertentu menggesernya dari konteks ‘sebenarnya’; hingga sekali lagi mempertanyakan beberapa prinsip yang melekat, yang kita asumsikan sangat penting dalam menentukan ‘kebenaran’ dokumenter.

Campur tangan Flaherty dalam materi film itulah yang paling bermasalah ketika mengevaluasi Nanook sebagai film dokumenter utama. Flaherty tak puas hanya dengan merekam kejadian-kejadian; ia ingin ‘mendramatisir’ kenyataan dengan memfilmkan aspek-aspek kebudayaan orang Eskimo yang ia ketahui dari perjalanan terdahulunya ke Hudson Bay antara tahun 1910-1916. Misalnya, ia ingin memfilmkan orang Eskimo berburu dan menangkap anjing laut dengan seruit (seruit: sejenis tombak bermata satu yang digunakan untuk menangkap jenis ikan besar, pada masa modern digunakan secara ditembakkan) secara tradisional, ketimbang merekam adegan berburu dengan menggunakan senapan, alat yang waktu itu mereka gunakan sehari-hari. Flaherty juga membangun igloo untuk menyesuaikan peralatan kamera, dan mengatur sebagian gaya hidup orang Eskimo untuk dicocokkan dengan keperluan teknis pengambilan gambar dalam kondisi tersebut. Dalam Moana, Flaherty menampilkan upacara ritual pembuatan tato penduduk pulau Samoa, mengetengahkan kembali suatu praktik yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi dilakukan. Sementara dalam Man of Aran (1935), para pemburu ikan hiu juga ditampilkan, padahal tidak lagi mencirikan keberadaan penduduk Pulau Aran pada saat itu.

B. Dari Ulasan Sosial, Propaganda, hingga Aktualitas Puitis

Jika Flaherty membangun tradisi dokumenter yang muncul dari film perjalanan dan ingin merayakan keberadaan umat manusia, maka John Grierson (berkebangsaan Inggris) mengartikan dokumenter dalam terminologi yang lebih dipolitisir. Terpikat oleh pandangan bahwa dokumenter dapat membantu proses demokrasi dalam mendidik masyarakat, Grierson dengan semangat mengejar tujuannya.

Ia dipengaruhi oleh pemikiran Water Lippmann (yang percaya bahwa kompleksitas kehidupan modern mencegah orang awam untuk berpartisipasi dalam masyarakat sebagaimana mestinya) dan karya Sergei Eisenstein (”Battleship Potemkin”, 1925).
Grierson ingin agar film dokumenter secara sosiologis lebih peka dan kurang estetis daripada hasil karya Vertov. Pemikiran inilah yang kemudian mempengaruhi era tersebut, dimulai dengan Drifters (1929), satu-satunya film yang benar-benar disutradarai oleh Grierson, mengisahkan tentang para nelayan penangkap ikan herring di North Sea.

Film-film penting lainnya menyusul, yaitu Granton Trawler (1934), disutradarai oleh Edgar Anstey, mengenai dunia perikanan dan nelayan. Song of Ceylon (1934), disutradarai oleh Basil Wright, yang menampilkan usaha pertamanya untuk menggunakan nada penggiring gambar dan bukannya musik atau dialog. Housing Problems (1935), disutradarai bersama oleh Anstey dan Arthur Elton, yang menggunakan gaya film berita jurnalistik dalam mewawancarai orang-orang yang hidup di perumahan kumuh. Nightmail (1936), disutradarai oleh Basil Wright dan Harry Watt, yang menampilkan musik karya Benjamin Britten dan puisi karya W.H. Auden mengenai kereta api malam pengangkut surat dalam perjalanannya dari London ke Glasgow. North Sea (1938), diproduksi oleh Alberto Cavalcanti, dan disutradarai oleh Harry Watt, berkisah tentang hubungan radio dari kapal ke pantai yang direkonstruksikan secara dramatis.

Film-film seperti Squadron 992 (1939), Dover Front Line (1940), dan Target for Tonight (1941) menjadikan Harry Watt sebagai salah satu pembuat film yang paling penting pada periode tersebut, tapi karya Humphrey Jennings-lah yang menunjukkan beberapa aspek yang paling indah dan paling berpengaruh dalam pembuatan film dokumenter Inggris.

Ketika perang pecah, Jennings membuat dua film; The First Days (1939) dan Spring Offensive (1939). Namun karya terbesarnya adalah London Can Take It yang dibuat bersama Harry Watt. Film tersebut menceritakan tentang bagaimana orang Inggris selamat dalam menghadapi serangan udara mendadak, dan juga menunjukkan semangat, kegigihan dan ketahanan mereka. Film itu sengaja dibuat untuk menarik minat pasar di Inggris sendiri dan juga di Amerika. Film berikutnya adalah Heart of Britain (1940). Namun, film Words for Battle (1941) lah yang mengukuhkan posisi Jenning sebagai seorang pembuat film yang tak takut untuk mengembangkan berbagai aspek yang ia garap. Termasuk pendekatan yang lebih puitis dan ekspresif dari realisme emosionil. Words for Battle terdiri dari tujuh bagian. Tiap bagian berisi komentar Laurence Olivier. Bagian-bagian tersebut menampilkan gambaran pendekatan dengan cuplikan-cuplikan puisi atau orasi publik – termasuk potongan puisi William Blake yang berjudul ‘Jerusalem’, ‘The Beginnings’ karya Rudyard Kipling, pidato Winston Churchill pada 4 Juni 1940 serta Pidato Abraham Lincoln di Gettysburg (19 November 1863).

Jennings dapat menjadikan ‘aktualitas’ puitis secara efektif dan pada saat yang bersamaan, membangun kembali monumen dan bangunan bersejarah di masyarakat serta mengangkat nilai kemanusiaan rakyat biasa sewaktu menjalani kerasnya hidup selama peperangan dengan tabah. Hal ini menjadikan dokumenter sebagai jenis film yang tidak semata-mata merekam peristiwa, tetapi juga menjadikan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai ilustrasi yang sesuai untuk hal-hal puitis.

Pendekatan tersebut diteruskan pada karya-karya Jennings berikutnya; Listen to Britain (1941) dan Fires Were Started (1942). Tujuan dari pendekatan tersebut adalah untuk mengungkapkan secara emosionil dan mengangkat praktik kerja umum yang selama itu terabaikan hingga dianggap penting dan nilainya diakui selama perang. A Diary for Timothy (1946) melengkapi siklus perjuangan Jennings dan mungkin merupakan prestasi terbesarnya. Film tersebut mengisahkan pertumbuhan bayi Timothy sesudah perang, dengan naskah yang digarap oleh E.M. Forster dan dibawakan oleh Michael Redgrave, film tersebut memiliki nuansa sendu dan tak jelas karena optimisme emosionil Jennings yang normal menjadi kabur. Dokumenter yang seharusnya ‘aktual’; kini lebih dipengaruhi oleh ‘perasaan’ yang tidak konsisten daripada ‘fakta’ yang konsisten.

C. Propaganda sebagai Dokumenter Mitos

Diperlukan satu pembahasan panjang mengenai tradisi pembuatan film dokumenter a la Eropa. Namun demikian, tokoh seperti Joris Ivens (Belanda) dan Henri Storck (Belgia) berperan besar menyumbangkan pengertian tentang masa pra-perang di Eropa melalui film-film mereka. Ironisnya, Leni Riefenstahl, salah satu sutradara Eropa terbesar dan paling kontroversial menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai salah satu film terbaik, baik dokumenter ataupun jenis lainnya, sepanjang masa. Pada tahun 1935, Reifenstahl membuat Triumph of the Will, sebuah catatan tentang rapat akbar partai di Nuremberg yang mengundang perdebatan sengit. Haruskah film yang mengagung-agungkan cita-cita Nazi semacam itu, dipisahkan dari konteks propagandanya untuk kemudian diangkat menjadi film ‘seni’ dan dianggap sebagai salah satu contoh dokumenter terbaik?

Reifenstahl membuat Triumph of the Will setelah ia menyelesaikan Victory of Faith (1933) untuk merayakan Kongress Nasional Partai Sosialis Hitler yang pertama, dan Day of Freedom: Our Army (1934) sebuah bentuk penghormatan betapa efisiensnya resimen tentara Jerman. Triumph of the Will secara mendasar menggabungkan kedua tema tersebut dan mengembangkannya menjadi ide propaganda dokumenter sebagai mitos. Tampaknya, dengan dukungan penuh dari Hitler, Goebbels, dan pemerintah, serta sokongan dana dari berbagai agen pemerintah, Riefenstahl mempekerjakan sekitar 120 kru film dan lebih dari 30 kamera selama pengambilan dan pembuatan filmnya. Kru sebanyak itu sengaja diadakan untuk menunjang film tersebut dan sengaja membuat sebuah panggung artifisial yang megah. Hal ini langsung mematahkan pernyataan Riefenstahl yang mengatakan bahwa Triumph of the Will adalah cinéma vérité, karena seperti yang ditunjukkan oleh Susan Sontag bahwa ‘dokumen (gambaran) dalam Triumph of the Will, bukan semata-mata rekaman realitas, melainkan ‘realitas’ yang dibangun untuk melengkapi sebuah gambaran yang diinginkan.

Pembangunan ‘mitos’ dokumenter ini berkaitan dengan segi estetik fasis yang ditekankan Sontag dalam evaluasinya tentang Riefenstahl. Sontag mengatakan bahwa rapat akbar ‘ritual’ Nuremberg digambarkan dengan ‘dominasi’ dan ‘perbudakan’, dan hal ini secara simbolis tercermin dalam kumpulan segerombolan orang secara besar-besaran; perubahan orang menjadi sesuatu; pelipatgandaan sesuatu dan semuanya mengelilingi tokoh pemimpin atau pasukan yang sangat kuat dan berpengaruh. Dramaturgi fasis berpusat pada pertukaran eforia antara kekuatan besar dengan boneka-bonekanya. Koreografinya berubah silih berganti antara gerak tiada henti dan pose beku, statis dan kaku. Seni fasis memuja penyerahan, memuliakan kebodohan; mengagungkan kematian.

D. DARI BIAS DOKUMENTER HINGGA DIRECT-CINEMA DAN CINEMA-VERITE

Tahun 1936-37, Pare Lorentz satu lagi tokoh dalam pembuatan film non-fiksi Amerika, membuat dua film penting,The Plow that Broke the Plains (1936) dan The River (1937). Kedua-duanya disponsori oleh pemerintah dan berusaha mendukung ‘impian Amerika’.

The River adalah dokumenter berdurasi 30 menit yang dibuat dengan film 16 mm, berisi pengalaman sebuah keluarga yang dilanda kemiskinan. Dalam film itu, diberi kesan bahwa mereka ‘berpakaian tidak layak’, ‘tinggal di tempat yang tidak layak’, ‘tidak cukup makan’ dan ‘menggantungkan diri pada hasil panen’. Film itu berusaha membuktikan bahwa campur tangan pemerintah telah memperbaiki daerah tersebut, melalui Kebijakan “New Deal-nya“ Roosevelt (Proyek The Tennesse Valley Authority dan The Farm Security Administration pada tahun 1933). Tujuannya adalah agar mendapat dukungan penonton kelas menengah Barat dalam meneruskan pendanaan reformasi negara di Mississippi Valley.

Patut diperhatikan bahwa keluarga yang difokuskan dalam film tersebut berkulit putih, padahal kemungkinan besarnya yang bekerja di daerah tersebut adalah keluarga berkulit hitam. Disini jelas bahwa Lorentz menggunakan filmnya untuk menarik elit kekuasaan, pembuat undang-undang dan pemilih berkulit putih untuk menjamin perubahan. Singkatnya, film tersebut bukan untuk penonton berkulit hitam, walaupun, dalam kenyataan situasi tersebut lebih berdampak pada banyak keluarga berkulit hitam.

Film dokumenter di sini digunakan sebagai alat spesifik dalam proses komunikasi antara pemerintah dan penduduknya. Dalam tradisi dokumenter Amerika, dasar pemikiran inilah yang lebih dari 30 tahun kemudian ingin diubah oleh para pembuat film Amerika. Pembuat film sayap kiri baru ingin ikut serta dalam proses komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya dengan mengungkapkan bagaimana pemerintah membangun institusi yang menekan dan seenaknya mengatasnamakan rakyat atas nama demokrasi.

Robert Drew adalah salah seorang pionirnya, bersama dengan para sutradara utama direct-cinema, Richard Leacock, Donn Pennebaker, serta Albert dan David Maysles merintis sebuah perlawanan terhadap model-model dokumenter pesanan dan sangat dikonstruksi itu. Primary (1960), film yang mengabadikan Hubert Humphrey dan John F. Kennedy dalam urutan kampanye partai demokrat pada pemilihan awal di Winsconsin, dan mencoba untuk melihat prosesnya melalui mata para kandidat.

Dengan menggunakan kamera jinjing, film tersebut mengangkat pengalaman para kandidat dan terbukti sangat terbuka dalam fokusnya mengenai kemeriahan acara tersebut. Direct-cinema sepertinya merekam ‘keaktualitasan’ dengan cara yang dapat mencapai kebenaran dan ketepatan sejarah.

Saat meninggalkan Drew Associates, Pennebaker mengejar ketertarikannya pada kebudayaan populer pada masa itu. Ia membuat Don’t Look Back (1966), sebuah film mengenai tur Bob Dylan di Inggris pada tahun 1965, dan Monterey Pop, menyajikan penampilan The Who, Simon & Garfunkel, dan Jimi Hendrix. Pennebaker, seperti rekannya Leacock, tampaknya memiliki ketertarikan terhadap musik sebagai barometer tingkah laku populer dan energi komunal. Pennebaker memadang filmnya kurang politis dibandingkan rekan-rekan direct-cinema-nya. Menurutnya: ‘Film-film saya bukan film dokumenter. Film tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadi film dokumenter, tapi merupakan rekaman kejadian tertentu saja. Sedangkan dokumenter menurutnya film untuk tujuan eksplorasi, investigasi dan analisa.

Kemudian lahir Woodstock (1970) karya Mike Wadleigh dan Gimme Shelter (1970), yang dibuat oleh Maysles bersaudara. Bila Woodstock, rekaman mengenai festival musik rock paling terkenal sepanjang waktu, merupakan perayaan nilai spiritual dari perdamaian, cinta, komunitas dan penggunaan narkotika sebagai pemicu kreatifitas, lalu Gimme Shelter, rekaman mengenai tur keliling Amerikanya the Rolling Stones, menyajikan pembunuhan yang terjadi pada konser band tersebut di Altamont, ditertibkan oleh Hell’s Angels, memberi kesan bahwa era tersebut telah berakhir.

Maysles bersaudara banyak membuat dokumenter mengenai tokoh-tokoh budaya populer, contohnya, The Beatles dalam What’s Happening! The Beatles in the USA (1964), Marlon Brando dalam Meet Marlon Brando (1965), Mohammed Ali dan Larry Holmes dalam Mohammed and Larry (1980) dan Christo, seniman dengan visi, yang membungkus kawasan terkenal seperti pulau, lembah dan jembatan dengan kain sutera, dalam Christo’s Valley Curtain (1974), Running Fence (1976) dan Islands (1986).

Walaupun demikian, salah satu film yang paling penting adalah Salesman (1969), yang mengabadikan empat anggota perusahaan kitab Injil kelas menengah Amerika dalam usaha mereka untuk menjual kitab Injil. Kitab Injil, tentunya, adalah lebih dari sekedar ‘buku suci’, lebih dari sekedar ‘sebuah komoditas’, maka yang akhirnya terjadi adalah ketegangan antara nilai-nilai komersial dan spiritual. Untuk membeli atau menjual kitab Injil penting bagi kita untuk menunjukkan ‘kepercayaan’ kita, dan Paul Brennan, sang tokoh antagonis dijadikan fokus dari film tersebut, dengan jelas memperlihatkan sebuah krisis diri dalam mengerjakan pekerjaannya.

Relativitas sebuah film dokumenter sekali lagi dipertanyakan – sebuah relativitas yang tidak pernah disangkal oleh salah satu pendukungnya dari Amerika yang hebat, Frederick Wiseman. Saya rasa obyektifitas/subyektifitas adalah omong kosong. Saya tidak mengerti bagaimana sebuah film bisa tidak subyektif. Wiseman menghindari gaya pendekatan dokumenter yang mengutamakan tokoh atau kejadian dalam budaya populer. Ia lebih tertarik dengan gaya pembuatan film tertentu yang mengikutsertakan penonton dengan kehidupan sehari-hari institusi Amerika yang familiar.

Wiseman ingin mengetengahkan institusi ini karena institusi tersebut berfungsi sebagai bagian dari struktur dasar masyarakat demokratis, namun begitu menyatunya institusi itu di dalam masyarakat sehingga aktifitas mereka luput dari perhatian dan tidak pernah dipertanyakan.

Dengan cara tidak memfokuskan pada cerita individu, Wiseman meciptakan berbagai kejadian ‘mosaic’, interaksi dan proses bekerja, mengungkapkan bentuk-bentuk tingkah laku, yang pada akhirnya merefleksikan moral institusi tersebut dan nilai-nilai sosial masyarakat. Agar penonton dapat mengenal dan mengartikan materi yang ditayangkan, penting bahwa mereka tidak ‘pasif’ tapi secara aktif terikat dalam merasakan dunia yang mereka sedang hadapi. Akibatnya, Wiseman tidak menggunakan dubbing atau musik untuk memandu agar penonton mengerti film itu.
Walaupun Wiseman ingin penonton membuat keputusan sendiri, ia juga ingin mereka membuat lompatan imajinatif untuk mengerti bahwa institusi apa pun adalah model dari masyarakat, dan aktifitasnya merupakan simbol dan metafora untuk tema-tema yang lebih besar mengenai kekuatan dan kekuasaan.

Wiseman sudah membuat banyak film. Beberapa karyanya yang paling penting termasuk Titicut Follies (1967), High School (1968), Basic Training (1971), Model (1980), dan Central Park (1989). Titicut Follies, yang merupakan film pertama Wiseman, mungkin tetap merupakan karyanya yang paling kontroversial. Film ini menceritakan tentang orang-orang gila yang bertindak kriminal di Rumah Sakit Bridgewater di Massachusetts.

Judul film ini berasal dari sandiwara tahunan yang ditampilkan oleh para pegawai dan pasien, yang menceritakan perilaku tidak berperikemanusiaan, langkah-langkah yang diambil pihak berwajib, dan kurangnya perawatan yang baik bagi pasien-pasien dengan gangguan serius. Hal ini merupakan contoh pertama dari salah satu tema utama Wiseman, yaitu usaha oleh individual manapun untuk mempertahankan sisi kemanusiaan mereka, sementara hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan peraturan-peraturan kelembagaan yang mempunyai akibat-akibat tidak manusiawi.

High School adalah film mengenai SMU NorthEast di Philadelphia, dan menceritakan tema yang sama dalam bentuk berbeda dengan menunjukkan bagaimana murid-murid di sekolah tersebut dipaksa untuk menuruti peraturan sekolah yang keras. Bagi pihak sekolah, kepatuhan mutlak tanpa alasan adalah kemestian. Sebuah cermin dari kepatuhan mutlak yang juga berlaku dalam masyarakat secara keseluruhan. Film ini berakhir dengan adegan ketika Dr. Haller, sang kepala sekolah, membaca surat dari mantan murid sekolah itu, Bob Walter, yang meminta agar uang asuransi GI-nya diberikan kepada sekolah tersebut apabila ia terbunuh di Vietnam. Dalam surat itu, ia berkata ‘Saya cuma tubuh yang melakukan pekerjaan’.

Dari Dokumenter Radikal ke Televisi, Perbedaan dan Bentuk Popular
Sekolah direct-cinema di Amerika sebenarnya ditentang oleh pembuat film bernama Emile de Antonio, yang merasa bahwa ambisi dari pembuatan film semacam itu – naïf dan tidak bisa dicapai. Film De Antonio diilhami oleh politik Marxis dan kritik intelektual yang pedas dari kemunafikan lembaga Amerika. Artinya, ia diawasi oleh J. Edgar Hoover, FBI dan CIA sepanjang karirnya.

Film-filmnya sebagian besar dikumpulkan dari potongan gambar yang ditemukan dan diambil dari banyak sumber, terutama dari banyak film yang tidak digunakan di jaringan liputan berita. Ia dengan sengaja membuat film yang menciptakan pandangan alternatif mengenai budaya Amerika seperti telah diketengahkan melalui televisi dan agen-agen pemerintah. Film-film tersebut termasuk Point of Order (1963), yang menunjukkan kejatuhan Senator McCarthy di acara dengar pendapat Senat Militer pada tahun 1954; Rush to Judgement (1967), yang merupakan dokumenter besar pertama untuk menantang penemuan Komisi Warren mengenai pembunuhan John F. Kennedy pada tahun 1963; In the Year of the Pig (1969), pandangan keras Amerika yang terjadi di Perang Vietnam; dan Milhouse: A Whitehouse Comedy (1972), gambaran satiris dari Richard Nixon.

De Antonio merasa bahwa karyanya sangat berlawanan dengan laporan berita yang biasa-biasa saja dan banyak disensor yang ditampilkan di jaringan televisi utama. Dalam pandangannya, berita-berita tersebut telah menyensor kenyataan. Ia juga mengutuk komersialisasi dari program berita Amerika sebagai mengecilkan arti kengerian perang dan menuntun penonton menjadi kurang sensitif terhadap rasa sakit dan duka cita. De Antonio pada dasarnya percaya bahwa televisi sebagai media sudah disalahgunakan, membosankan dan secara ideologi tidak lagi efektif.

Dalam banyak hal, kenyataan ini telah mempengaruhi dan menganggu para pembuat dokumenter untuk mensahkan kembali bentuk dokumenter. Hal ini telah menuntun beberapa dokumentaris untuk menggunakan media televisi dengan cerita narasi yang lebih radikal, atau untuk dengan membuat pendekatan-pendekatan mereka lebih berbeda dan eksperimental.

Selain itu, telah terjadi perkembangan ke bentuk yang lebih populis, yakni dengan bentuk hibrida antara dokumenter dengan opera sabun, drama fiksi dan rekonstruksi berita. Lebih lanjut, dengan mulai adanya teknologi camcoder yang terjangkau, kaum amatir telah menggunakannya dalam film Video Diaries dan untuk tujuan hiburan, seperti acara yang dibuat sebagai variasi Candid Camera.

Televisilah yang memainkan peranan penting dalam menyerap bentuk dokumenter di tahun 1970-an dan 1980-an. Keanekaragaman bentuk membuat pembuat-pembuat film dari kelompok-kelompok yang pada awalnya minoritas telah mengambil kesempatan untuk tampil lebih istimewa, dengan suara-suara khusus dan tujuan-tujuan tertentu. Hal ini penting bagi keberadaan dokumenter sebagai alat sosial yang penting untuk kelanjutan prinsip-prinsip demokratis.

Film-film non-fiksi penting mengenai feminisme telah muncul sehingga langsung menantang dominasi laki-laki dalam dokumenter. Film-film dengan tema tersebut antara lain Three Lives (1971) karya Kate Millet, Woman to Woman (1975) karya Donna Deitch, The Life and Times of Rosie the Riveter (1980) karya Connie Field, dan Daughter Rite (1978) karya Michelle Citron. Film-film ini menginginkan kembalinya ‘bahasa film’ dan menunjukkan sejarah dari problem-problem perempuan dalam masyarakat.

Serupa dengan itu, para pembuat film lesbian dan gay menemukan alat bicara di dalam dokumenter, contohnya dalam Before Stonewall: The Making of a Gay and Lesbian Community (1984) oleh Greta Schiller, John Scagliotti dan Robert Rosenberg, dan yang paling menyentuh adalah The Times of Harvey Milk (1984) karya Robert Epstein, mengenai pembunuhan Harvey Milk, seorang pejabat dan aktivis hak-hak kaum gay dan lesbian di San Fransisco.

Lebih lanjut, pembuat film dari kalangan orang kulit hitam telah menggunakan dokumenter untuk mengambil kembali sejarah dan identitas, khususnya mungkin ada di film Eyes on the Prize (1989) karya Henry Hampton, dan dalam konteks Inggris, Handsworth Songs (1986) karya John Akomfrah. Kelompok-kelompok yang ditekan atau tidak terwakilkan telah dapat membicarakan ‘kebenaran’ mereka, menunjukkan ‘fakta’ mereka dan menggambarkan ‘keaslian’ mereka, dan dalam hal ini fleksibilitas dokumenter telah membantu mereka dengan baik.

Di era 1990-an, lebih banyak lagi bentuk dokumenter yang dibuat agak murah dengan teknilogi digital baru, memenuhi jadwal televisi, dan berbicara kepada dengan penonton di seluruh dunia untuk mengambil aspek lain dari diri mereka sendiri dan dunia tempat mereka tinggal.

Proyek besar dari Era Informasi dalam memperbaiki komunikasi dan menyediakan lebih banyak waktu, tetapi belum berhasil membuat manusia dapat berkomunikasi lebih efektifl. Oleh sebab itu dokumeter sangat berharga dalam usahanya untuk mengevaluasi secara kritis kemajuan masyarakat yang seharusnya terjadi, dan implikasi nyata dari sejarah kebudayaan.

Contoh karya-karya penting lainnya adalah Shoah (1986) karya Claude Lanzmann, epic 9 jam mengenai wawancara dengan orang-orang yang selamat dari bencana; The Thin Blue Line (1988) karya Errol Morris, sebuah studi mengenai kasus pembunuhan pinggir jalan, dan Randall Adams, orang yang dipenjara karena diduga melakukan kejahatan tersebut, terbukti tidak bersalah; dan Roger and Me (1990) karya Michael Moore, sebuah perspektif dari warga yang prihatin mengenai pengkhianatan ekonomi dan sosial oleh General Motors. Semua berhasil secara internasional dan merupakan sebuah petunjuk bahwa bentuk dokumenter tetap kuat di era kontemporer. Belum lagi nama-nama seperti seperti Nick Broomfield, Molly Dineed, Clive Gordon, Robert Gardner dan Trinh T. Minh-ha yang cukup berhasil dengan film-filmnya.


Daftar Pustaka

Bill Nichols, Introduction to Documentary, Indiana University Press, 2001
________, Representing Reality, Indiana University Press, 1991
Alan Rosenthal, Writing, Directing and Producing Documentary Films and Video, Southern Illinois University Press, 1990
Michael Rabiger, Directing The Documentary, Focal Press, 1992
Sharon R. Sherman, Documenting Ourselves, The University Press Of Kentucky, 1998

Sumber: kuliahkomunikasi.blogspot.com

No comments:

Post a Comment