Oleh : I.Bambang Sugiharto
Wacana seni di Indonesia telah banyak memperbincangkan perlunya konsep-konsep, paradigma dan kategori-kategori khas Indonesia baik dalam penelaahan sejarah, teori estetik, maupun strategi kebudayaan umumnya. Namun membaca berbagai wacana itu selalu saja terasa ada sesuatu yang mengganjal. Misalnya, ada kecenderungan untuk buru-buru bicara tentang paradigma macam apa yang seyogianya digunakan. Dan biasanya lalu digali-galilah khasanah tradisi Indonesia, lantas dipas-paskan sebagai “paradigma” yang bersifat “khas Indonesia”. Dalam rangka ini lantas ada yang keasyikan dan seperti menemukan kerangka “estetik nasional” yang elemen-elemennya konon ditemukan dalam “puncak-puncak” semua tradisi etnik di Indonesia. Terhadap kerangka estetik macam ini biasanya segera saja orang bertanya : “ Bila karya seni saya tak memenuhi kriteria estetik macam itu, apa itu berarti tidak indonesiawi?” atau “ Apakah dengan adanya kriteria itu berarti bahwa saya harus berkesenian secara begitu , agar bisa disebut otentik?” . Pertanyaan-pertanyaan spontan yang penting dan ternyata tak mudah dijawab juga.
Ada kecenderungan kuat pula dalam wacana itu untuk mengambil alih begitu saja konsep-konsep tentang “paradigma” dari dunia sains tanpa cukup waspada bahwa di dunia seni konotasi “paradigma” bisa berbeda. Juga biasanya dengan cepat mata rantai berbagai aliran yang muncul di dunia Barat dijadikan semacam rujukan utama dalam memandang pola “sejarah seni”, misalnya: alur yang kurang lebih linier, suksesi dominasi aliran/gaya, situasi sosial-politik yang berinteraksi di dalamnya, dsb.dsb. Dan dibayangkan bahwa sejarah seni di Indonesia pun kira-kira mesti dilihat seperti itu, tanpa waspada bahwa ada begitu banyak hal dalam situasi perjalanan kesenian di