Friday, June 1, 2012

SENI RUPA INDONESIA dalam kritik dan esai



Imam Muhtarom, pemerhati senirupa


Judul buku:
SENI RUPA INDONESIA DALAM KRITIK DAN ESAI

Penulis               : Soedjojono dkk.

Penyunting         : Bambang Bujono dan Wicaksono Adi

Penerbit            : Dewan Kesenian Jakarta

Cetakan            : I, Januari 2012

Tebal                : xl +616 halaman


DARI NASIONALISME MENUJU PASAR

Kekinian yang dimaksud dalam istilah kontemporer memang lebih dekat ke arah pasar

Sejarah seni rupa Indonesia modern belum lama, kurang-lebih baru 80 tahun berjalan. Walaupun masih pendek, sejarah itu penting untuk menilik kembali apa-apa yang telah terjadi. Sejarah berperan sebagai sarana merefleksikan seni rupa kini akibat perkembangan dunia global saat ini, tergerus nilai lokal yang tidak relevan dianggap satu-satunya sumber jati diri, dan maraknya konsumerisme yang justru memberi banyak pilihan sekalipun sebenarnya seragam.



Dalam situasi demikian, penting diperhatikan kemunculan buku Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai ini. Buku ini hendak mengingatkan ihwal serangkaian sejarah yang menjadi latar belakang seni rupa Indonesia modern.

Awalnya, sejarah seni rupa modern Indonesia muncul bersamaan spirit nasionalisme yang berkumandang pada 1930-an, atas prakarsa Soedjojono. Kemudian, muncul seni dan politik cukup keras pada paruh pertama 1960-an. Disusul Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an, dilanjutkan masa booming seni lukis pada 1980-an.

Setelah itu, tidak ada gerak yang signifikan dalam perjalanan seni rupa Indonesia, kecuali kegelisahan pada infrastruktur seni rupa yang kalah oleh infrastruktur pasar seni rupa. Alhasil, perayaan pada seni rupa media baru tidak lain adalah kepanjangan apa yang sudah dirintis oleh Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1970-an.

Buku ini disusun secara kronologis berdasarkan topik dan bukan pada kronologi pelaku sejarahnya. Artinya pada masa 1930-an tidak hanya melulu esai atau ulasan yang muncul pada saat itu, tetapi juga tulisan Onghokham yang ditulis pada 2005 mengenai mooi indie (hal 65-73), atau tulisan Dan Suwaryono. Sedangkan sebagian besar tulisan berjumlah 70 esai ini ditulis ketika peristiwa seni rupa sedang atau masih terasa semangatnya.

Kita bisa menemukan tulisan Affandi yang tengah pidato di Sorbone, tulisan Soedjojono tentang mooi indie, serta tulisan Trisno Sumardjo tentang kubu Bandung yang mengabdi ke Barat beserta perdebatannya. Atau tulisan Jim Supangkat sebagai “jubir” Gerakan Seni Rupa Baru. Membaca tulisan demikian, kita terasa menyaksikan sebuah film dokumenter.
Dalam seni rupa, gagasan sosial dan politik dirumuskan secara sistematis pada masa pemerintahan Sukarno. Sistem multipartai memungkinkan kesenian menjadi cara menjaring massa di satu sisi, sementara pada sisi lain Sukarno sendiri adalah superpatron (istilah Agus Dermawan T.) bagi seniman-seniman saat itu.

Orde Baru sebagai antitesis Orde Lama menginginkan kegairahan politik yang berlebihan disudahi. Seniman pendukung PKI dipenjara, dibungkam, dan disiksa. Menginginkan kondisi politik stabil, negara bersemangat membangun, terutama menata bidang perekonomian. Kesadaran artistik menonjol, terutama setelah ITB dan ISI eksis sebagai lembaga pendidikan kesenian. Sanggar meredup pamornya, juga ekspresi politik meredup. Jika pun ada, menjadi penuh simbol seakan menghindari ekspresi realisme sosial.

Munculnya Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1974 tidak lain merupakan kegelisahan artistik di tengah kian membaiknya sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang ditandai masuknya berbagai barang dari luar maupun hasil dalam negeri secara sosial membentuk panorama visual tersendiri.

Masa Orde Baru, yang ditandai membanjirnya iklan produk dan pembangunan secara berbarengan serta surutnya slogan-slogan politik, adalah lanskap visual yang menandai perubahan kekuasaan. Munculnya Moeljono di Yogyakarta, Semsar Siahaan di Jakarta, dan Saiful Hadjar di Surabaya, kemudian karya Heri Dono, Tisna Sanjaya, adalah turunan dari karya yang lahir dalam kerangka reaksi terhadap sikap otoriter Orba.

Meski demikian, pasarlah yang menjadi pemenang, baik di wilayah politik maupun juga di wilayah seni rupa. Penempatan bab “Perihal Pasar” di akhir bab dan bukannya menempatkan bab “Arus Kontemporer” pada bab terakhir seakan merupakan tanggapan atas situasi ini. Kekinian yang dimaksud dalam istilah kontemporer memang lebih dekat ke arah pasar. Penempatan bab ini tidak sekedar usaha meletakkan agar sekronologis mungkin, tetapi terasa nada sinis yang hendak diselipkan.

Kontemporer bukan karena media baru yang memungkinkan berekspresi semacam video art, Internet, peralatan komunikasi, dan seterusnya, tetapi urusan selera. Selera memang sulit diperdebatkan, namun selera siapa yang lebih dominan, itulah persoalannya. Buku ini diakhiri oleh karut-marut eksperimentasi pasar dalam menyerap sekaligus mengarahkan seni rupa Indonesia saat ini. Ada penulis seni rupa yang senang oleh situasi ini, namun kebanyakan pemistis bernada sedih.


(Koran Tempo, 8 April 2012)

No comments:

Post a Comment